PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi terhadap Perkembangan Jiwa Keagamaan
Sikap
keagamaan merupakan suatu keadaaan yang ada dalam diri seseorang yang
mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap
agama. Sikap keagamaan tersebut oleh adanya konsistensi antara kepercayaan
terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur
afektif, dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif. Jadi, sikap
keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama,
perasaan agama serta tindak keagamaan dalam dri seseorang.[1]
Sikap
keagamaan dapat dilihat dari sikap yang ditampilkan dari unsur kognitif, afektif, dan konasi. Baiknya
sikap keagamaan seseorang tergantung dari keserasian antar ketiga unsur
tersebut dalam jiwa seseorang. Begitu juga sebaliknya, jika tidak serasi maka
akan mengalami gangguan atau ketimpangan dalam perilaku keagamaannya seperti
ateis, konversi agama, fanatisme dan lain-lain.
Sikap
keagamaan terbentuk dari oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor
ekstern. Perkembangan jiwa keagamaan selain ditentukan oleh faktor ekstern juga
ditentukan intern seseorang. Seperti halnya aspek kejiwaan lainnya, maka para
ahli psikologi agama mengemukakan berbagai teori berdasarkan pendekatan
masing-masing. Tetapi, secara garis besarnya faktor-faktor yang ikut
mempengaruhi terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain faktor hereditas,
tingkat usia, kepribadian, dan kondisi kejiwaan seseorang.[2]
Dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
Faktor Intern
a.
Hereditas
Jiwa
keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan
secara turun menurun, melahirkan terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan lainnya
yang mencakup kognitif, afektif, dan konasi. Tetapi, dalam penelitian yang
dilakukan oleh Margareth Mead menemukan terhadap suku Mundugumor dan Arapesh
bahwa terdapat hubungan antara cara menyusui dengan sikap bayi. Bayi yang
disusukan secara tergesa-gesa (Arapesh) menampilkan sosok yang agresif dan yang
disusukan secara wajar dan tenang (Mundugumor) akan menampilkan sikap yang
toleran di masa remajanya.
b.
Tingkat Usia
Tingkat
perkembangan usia dan kondisi yang dialami remaja ini menimbulkan konflik
kejiwaan, yang cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama. Bahkan, menurut
Starbuck memang benar bahwa pada usia adolesensi sebagai rentang umur
tipikal terjadinya konversi agama. Hal ini juga menurut Ernest Harsm
bahwa perkembangan agama pada anak-anak ditentukan oleh tingkat usia mereka.
Perkembangan tersebut dipengaruhi pula oleh perkembangan berpikir. Ternyata,
anak yang menginjak usia berpikir kritis lebih kritis pula dalam memahami
ajaran agama. Begitu juga, di saat remaja mereka menginjak kematangan seksual,
pengaruh itu pun menyertai perkembangan jiwa keagamaan mereka. Menurut
penelitian Dr. Kinsey pada tahun 1950-an, 90% remaja Amerika melakukan
masturbasi, homoseksua, dan onani.
c.
Kepribadian
Kepribadian
menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan
pengaruh lingkungan. Hubungan inilah yang dapat membentuk kepribadian. Adanya
kedua unsur tersebut menimbulkan konsep tipologi dan karakter. Tipologi berasal
dari bawaan dan karakter berasal dari pengaruh lingkugan.
Dilihat
dari pandangan tipologis, kepribadian manusia tidak dapat diubah karena
terbentuknya komposisi yang terdapat dalam tubuh. Sebaliknya pandangan karakter,
kepribadian manusia dapat berubah dan tergantung dari pengaruh lingkungan
masing-masing.
Berangkat
dari pendekatan tipologis dan karakterologis, maka melihat ada unsur-unsur yang
bersifat tetap dan unsur yang dapat berubah membentuk struktur kepribadian
manusia. Unsur-unsur yang bersifat tetap berasal dari bawaan, sedangkan yang
dapat beruabh adalah karakter. Namun demikian, karakter pun menurut Erich Fromm
adalah relatif bersifat permanen.
d.
Kondisi Kejiwaan
Kondisi
kejiwaan ini terkait denga kepribadian sebagai faktor intern. Menurut Sigmund
Freud dengan pendekatan psikodinamik menunjukkan gangguan kejiwaan ditimbukan
oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi
sumber gejala kejiwaan yang abnormal.
Gejala-gejala
kejiwaan yang abnormal ini bersumber dari kondisi saraf, kejiwaan, dan
kepribadian. Kondisi kejiwaan yang bersumber dari saraf akan menimbulkan gejala
kecemasan saraf, absesi, dan kompulasi serta amnesia. Kondisi kejiwaan yang
disebabkan oleh kejiwaan umumnya menyebabkan seseorang kehilangan kontak
hubungan dengan dunia nyata. Gejala ini ditemui pada penderita shizoprenia
yang akan mengisolasi diri dari kehidupan sosial, paranoia, maniac, serta
infantile autism (berperilaku seperti anak-anak).
Dengan
demikian, faktor intern yang dapat mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan
adalah 1) hereditas, yakni sifat bawaan yang berasal dari kedua orang tuanya.
Sifat bawaan tersebut dapat berupa sifat, potensi, bakat, dan penyakit. Nabi
Muhammad menganjurkan untuk memilih pasangan hidup. Hal ini mengindikasikan
bahwa pasangan hidupnya akan berdampak pada keturunannya. Seperti pasangannya
dari keluarga baik, kemungkinan akan melahirkan anak yang baik; 2) tingkat
usia, yakni umur juga ikut mempengaruhinya. Anak yang kritis dalam berpikir
akan ikut kritis juga dalam hal memahami ajaran agama. Begitu juga pada saat
remaja, mulai mendapatkan konflik dalam kejiwaannya yang dapat menimbulkan
konversi agama; 3) kepribadian, yakni kepribadian dapat berupa sifat bawaan
yang tidak dapat berubah (pandangan tipologis) dan kepribadian dapat berubah
tergantung dengan pengaruh lingkungannya; dan 4) kondisi kejiwaan, yakni
gejala-gejala kejiwaan bersumber dari kondisi saraf, kejiwaan, dan kepribadian.
Misalnya bersumber dari saraf akan menimbulkan kecemasan saraf dan amnesia.
2.
Faktor Ekstern
Potensi
yang dimiliki manusia ini secara umum disebut fitrah keagamaan, yaitu berupa
kecenderungan untuk bertauhid. Sebagai potensi maka perlu adanya pengaruh yang
berasal dari luar diri manusia. Pengaruh tersebut dapat berupa bimbingan,
pembinaan, latihan, pendidikan, dan sebagainya, yang secara umumnya disebut
sosialisasi.
Faktor
ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat
dari lingkungan di mana seseorang itu hidup. Umunya lingkungan dibagi menjadi
tiga yaitu lingkungn keluarga, lingkungan institusi, dan lingkungan masyarakat.[3]dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a.
Lingkungan Keluarga
Keluarga
merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia.
Anggota-anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya. Bagi anak,
keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenalnya. Dengan demikian,
kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi perkembangan jiwa
keagamaan anak.
Sigmund
Freud dengan konsep father image (citra
kebapaan) menyatakan bahwa perkembangan jiwa keagamaan anak dipengaruhi oleh
citra anak terhadap bapaknya. Jika seorang bapak menunjukkan sikap dan tingkah
laku yang baik, maka anak akan cenderung mengidentifikasi sikap dan tingkah
laku bapak pada dirinya. Begitu juga sebaliknya, jika bapak menampilkan sikap
dan tingkah laku buruk akan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak.
b. Lingkungan
Institusional
Lingkungan
institusional dapat berupa institusi formal seperti sekolah dan institusi
non-formal seperti organisasi.
Sekolah sebagai
institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan
kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh tersebut terbagi menjadi
tiga kelompok, yaitu 1) kurikulum dan anak; 2) hubungan guru dan murid; 3)
hubungan antaranak. Ketiga kelompok itu secara umum tersirat unsur-unsur yang
menopang pembentukan tersebut seperti ketekunan, disiplin, kejujuran, simpati,
sosiabilitas, toleransi, keteladan, sabar, dan keadilan. Perlakuan dan
pembiasaan bagi pembentukan sidat-sifat seperti itu umumnya menjad bagian dari
program pendidikan di sekolah.
c. Lingkungan
Masyarakat
Boleh dikatakan
setelah menginjak usia sekolah, sebagian besar waktu jaganya dihabiskan di
sekolah dan masyarakat.. berbeda dengan situasi di rumah dan sekolah, umumnya
pergaulan di masyarakat kurang menekankan pada disiplin atau aturan yang harus
dipatuhi secara ketat.
Meskipun tampaknya
longgar, namun kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan
nilai-nilai yang didukung warganya. Karena itu, setiap warga berusaha untuk
menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan norma dan nilai-nilai yang ada.
Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat memiliki suatu tatanan yang terkondisi
untuk dipatuhi bersama.
Dengan demikian,
faktor ektern yang dapat mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan, yaitu : 1)
lingkungan keluarga, orang tua yang menampilkan sikap dan tingkah laku yang
baik akan mempengaruhi karakter anak. Misalnya dalam keluarga mengajarkan
kedisplinan maka anaknya akan memiliki kepribadian yang disiplin; 2) lingkungan
institusional, yaitu lingkungan sekolah dan organisasi, dalam sekolah terjadi
hubungan anak dengan kurikulum, guru, dan antarteman. Ketiga tersebut dapat
membentuk kepribadian anak seperti tekun, dispilin, toleransi, dan lain
sebagainya.
B. Gangguan dan Penyimpangan Tingkah Laku Keagamaan
a. Fanatisme dan
Ketaatan
Suatu tradisi
keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa keagamaan
seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu kepada pendapat Erich Fromm
bahwa karakter terbina melalui asimilasi dan sosialisasi, maka tradisi
keagamaan memenuhi kedua aspek tersebut.
Suatu tradisi membuka
peluang bagi warganya untuk berhubungan dengan warga lainnya (sosialisasi).
Selain itu juga, terjadi hubungan dengan benda-benda yang mendukung berjalannya
tradisi keagamaan tersebut (asimilasi), seperti institusi keagamaan dan
sejenisnya. Hubungan ini menurut Erich Fromm berpengaruh terhadap pembentukan
karakter seseorang.
David Riesman melihat
bahwa tradisi cultural sering dijadikan penentu di mana seseorang harus
melakukan apa yang telah dilakukan nenek moyang. Dalam menyikapi tradisi
keagamaan juga tak jarang munculnya kecenderungan seperti itu. Jika
kecenderungan taklid keagamaan tersebut dipengaruhi unsur emosional yang
berlebihan, maka terbuka peluang bagi pembenaran spesifik. Kondisi ini akan
menjuruskan kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan
beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab, ketaatan merupakan upaya
untuk menampilkan arahan dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.[4]
Fanatisme ditimbulkan
dari keterkaitan emosional dengan tradisi keagamaan yang dipahaminya benar.
Jika seorang telah fanatic terhadap agamanya, maka ia akan melakukan segala hal
pembenaran dari pemahamannya terhadap agama. Sikap fanatic akan berdampak tidak
harmonisnya dalam sistem sosial karena jika ada orang yang menentangnya, maka
ia akan melakukan hal yang dapat membahayakan jiwa manusia, seperti kekerasan
antaragama, teroris, dan lain sebagainya. Berbeda dengan ketaatan, karena taat
merupakan menunjukkan sikap yang diarahkan oleh agamanya, mengahayati, dan
mengamalkan ajaran agama.
b. Konflik Agama
Konflik agama sebagai
perilaku keagamaan yang menyimpang dapat terjadi karena adanya pengekangan atau
pamasungan nilai-nilai agama itu sendiri. Maksudnya mereka menggunakan label
agama sebagai alat pembenaran tindakan yang ia lakukannya. Padahal apa yang ia
lakukan sesungguhnya bertentangan dengan nilai-niali ajaran agama itu sendiri
dan terkadang bukan dari bisikan hatinya. Konflik agama disebabkan oleh :
1) Pengetahuan agama yang
dangkal
Ajaran agama berisi tentang nilai-nilai
ajaran moral yang luhur. Tapi, tidaklah semua penganut agama memahami kesemua
nilai tersebut. Dalam keterabatas informasi mereka memerlukan informasi
tambahan dari orang yang ahli yang dianggap lebih mengetahui.
Kondisi ini sering terjadi pada masyarakat
awam. Sehingga dengan kondisi ini memberi peluang bagi masuknya pengaruh
negative. Dengan itu dapat menimbulkan konflik.
2) Fanatisme
Orang yang taat terhadap agamanya berusaha
semaksimal mungkin untuk mengamalkan ajaran agamanya. Menjadi penganut agama
yang taat merupakan perintah agama. Namun, ketaatan beragama di masyarakat
cenderung dipahami sebagai “pembenaran” yang berlebihan. Dengan sikap tersebut
akan membawakan kepada sikap fanatisme, hingga bahwa hanya agamanya sebagai agama
yang paling benar. Dan agama lain dianggap salah. Sehingga ia akan mengkritik
agama lain yang dianggap salah. Hal ini akan berpotensi timbulnya konflik
antaragama sepeti di Ambon.
3) Agama sebagi doktrin
Pemahaman agama yang kaku akan berkisar pada
hal iman/kafir, pahala/dosa, halal/haram, dan surga/neraka. Pemahaman ini akan
mengurangi sikap toleran, yang dapat menggangu hubungan antar sesama umat
agama. Padahal dalam agama Islam tidak ada pemaksaan dalam beragama. Seperti
kristen itu kafir.
4) Symbol-simbol
Pada agama tertentu menganggap suatu tempat atau benda dianggap
sebagai symbol suci dan perlu dipertahankan. Sebaliknya bagi agama lain
tidaklah demikian. Karena pemahaman dan penghargaan terhadap unsur dan symbol
keagamaan menjadi sangat penting. Karena terkadang penyalahgunaan dari
symbol-simbol dapat menimbulkan anggapan sebagai pelecehan terhadap agama yang
dipeluknya, seperti karikatur Nabi Muhammad di Swiss dan sapi bagi agama hindu.
5) Tokoh agama
Tokoh agama menempati fungsi dan
memiliki peran sentral dalam
masyarakatnya. Maka tokoh agama menempati posisi tinggi, dihormati, dan
didukung sepenuhnya, karena itu apa yang difatwakannya harus ditaati. Seperti
Usama bin Laden tokoh teroris di dunia yang melahirkan pengikutnya yang
membenarkan bom bunuh diri.
6) Sejarah
Sejarah merupakan suatu kejadian dan
peristiwa masa lalu yang menyangkut semua aspek kehidupan. Dalam sebuah sejarah
terjadilah pembagian golongan yaitu golongan lama dan golongan baru. Golongan
baru menganggap yang lama disebut belum beriman, animisme, atau lebih ekstrim
di sebut kafir.[5]
c. Atheisme dan
Agnotisisme
Atheis berasal dari
bahasa Yunani yang berate tiada Tuhan, penolakan akan adanya Tuhan baikk teori
maupun praktis. Theo Huijbers mengatakan atheis terbagi menjadi dua, pertama atheis teoritis yang sifat menyerang agama, seakan-akan agama adalah
musuh yang harus dimusnahkan. Kedua
atheis praktis, agama disangkal
keberadaannya secara praktis, menjalani kehidupan ini seakan-akan tidak ada
Tuhan, sama halnya dengan orang tidak peduli tentang adanya Tuhan dan akhirnya
mengambilk sikap acuh tak acuh.
Menurut Theo
Huijebers, atheis dikarenakan :
1) Adanya kejahatan di
dunia, hal ini bertolak belakang dengan adanya Tuhan yang memiliki sifat baik.
Seandainya Tuhan itu baik maka Tuhan tidak mengizinkan kejahatan itu terjadi.
2) Alam berjalan menurut
naturnya sendiri. Alam bukan diatur oleh Tuhan.
3) Manusia memiliki
kedaulatan. Tanpa adanya Tuhan, manusia sudah mampu dan mempunyai kekuatan
untuk menentukan hidupnya.
Selanjutnya, sebab
manusia menjadi atheis adalah :
1) Rasa agama yang tidak
dibina dan dikembangkan.
2) Terjadi penyelewengan
karena proses sejarah.
3) Menutup kebenaran
karena faktor-faktor tertentu.
4) Ragu dalam berpikir.
5) Lingkungan.
6) Ulah orang-orang yang
beragama sendiri.[6]
Dari uraian di atas dapatlah
disimpulkan bahwa atheis bukan fitrah manusia, tetapi dipengaruhi oleh berbagai
faktor baik kondisi, lingkungan, serta pengalaman hidup seseorang. Misalnya
kecewa terhadap agama yang ia anut, ketidakadilan Tuhan. Dalam Islam hal ini
bertentangan dengan fitrahnya karena pada dasarnya manusia itu butuh akan
agama, bukan agama butuh dengan kita. Orang-orang yang atheis di dunia ini
adalah Komunis, Maotsedong, Karel Mark, Karl Marx, Hitler, Liberasisme,
Kapitalisme, Materialisme, dan Sekuler. Agama sebagai fitrah manusia tersirat
dalam firman Allah :
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Artinya : Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. (QS. Ar-Rum:30)
Fitrah
Allah maksudnya adalah ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri
beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal
itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh
lingkungan.
Menurut
Syahminan, orang-orang atheis akan mendapat akibat dari perbuatan tersebut :
1)
Kelaparan rohani.
2)
Kekeacaun berpikir dan
bertindak.
3)
Menjatuhkan martabat
manusia.
4)
Kehidupan manusia akan
diliputi kesengsaraan dan malapetaka.
5)
Dibenci dan dilaknat Tuhan.
6)
Masuk neraka.[7]
Dari
penjelasan di atas, bahwa atheis merupakan tingkah laku yang menyimpang dalam
agama. Atheis merupakan peniadaan Tuhan dalam hidupnya. Atheis disebabkan oleh
kondisi, lingkungan, dan pengalaman dalah hidupnya. Orang atheis kelihatan dari
luar bahagia, namun dilihat dari sisi kejiwaan mengalami kesengsaraan. Jiwanya
akan mengalami krisis rohani dan haus akan kebahagian. Seperti halnya Fir’aun ketika di tengah-tengah laut merah,
ia mengakui adanya Allah Swt dan keEsaan-Nya. Seatheis-atheis orang, pasti di
suatu saat akan mengakui akan keberadaan Tuhan.
Menurut
Robert Thouless, agnotisisme adalah nama keyakinan yang menyatakan bahwa
keberadaan segala sesuatu yang ada di luar dunia materi seperti Tuhan tidak
diketahui atau dibuktikan secara rasional. Istilah ini disebut skeptisisme.
Ketidaktahuan manusia tentang Tuhan dan hal-hal yang bersifat inmateri karena
mereka mengukurnya dengan rasional, hal ini berlanjut dengan rasa ragu-ragu
yang akhirnya menimbulkan sikap agnotisisme atau ketidakpedulian terhadap
agama.
Orang-orang
yang bersikap agnotisisme adalah orang yang selalu mengagung-agungkan akal
pikiran, yang dianggapnya berbagai satu-satunya alat untuk mencari kebenaran.
Akibatnya bila sesuatu yang tidak sesuai dengan akal dianggap salah atau tidak
ada. Hal tersebut menjadikan orang itu salah dalam mengetahui tentang agama,
karena agama diketahui dengan diawali dengan keyakinan dan bukan diawali dengan
keragu-raguan.[8]
Sikap
agnotisisme merupakan awal dari atheis. Karena di awali dari ragu-ragu dan
tidak yakin maka akhirnya meniadakan Tuhan. Agnotisisme merupakan sikap yang
mengagungkan akal, sehingga suatu materi
yang tidak sesuai dan tidak masuk akal maka dianggap tidak ada. Sesuatu hal
yang tidak rasional, baginya tidak dipedulikan seperti halnya adanya Tuhan.
c.
Konversi Agama
Konversi
menurut etimologi berasal dari kata concersio yang berarti tobat,
berubah, pindah. Selanjutnya kata tersebut dari bahasa Inggris conversion yang
berarti berubah dari suatu keadaan, yaitu dari suatu agama ke agama lain.
Manurut Makx Heirich mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan
dimana seseorang atau kelompok berubah, pindah, masuk kepercayaan atau agama
orang lain yang berlawanan dengan agama sebelumnya.[9]
Dengan
demikian konversi agama adalah suatu perubahan kepercayaan dan ketaatan
terhadap suatu agama yang dianut oleh seseorang, meninggalkan kepercayaan
terhadap suatu agama dan memeluk agama lain. Misalnya dari agama Islam ke
Kristen atau sebaliknya dari agama Kristen ke Islam. Hal ini dikenal dalam
Islam adalah murtad yaitu keluar dari agama Islam.
Menurut
para ahli agama mengatakan bahwa yang menajdi faktor penyebab orang melakukan
konversi agama sebagai berikut :
1)
Menurut para ahli agama, penyebabnya
adalah petunjuk Ilahi. Karena faktor supernatural berperan dominan. Tidak ada
yang dapat menghalanginya.
2)
Menurut para ahli
sosioligi, penyebabnya adalah pergaulan hubungan antarpribadi baik bersifat
agama maupun non-agama; kebiasaan mengahadiri upacara keagamaan; anjuran dari
orang-orang terdekat; pimpinan agama; perkumpulan hobi; dan kekuasaan pemimpin.
3)
Menurut para ahli
psikologi, penyebabnya dari faktor intern (pribadi) dan ekstern (lingkungan).[10]
4)
Dalam sebuat situs,
penyebabnya adalah kemiskinan.[11]
Menurut
Zakiah Daradjar, proses terjadinya konversi agama melalui lima tahapan yaitu pertama,
masa tenang yaitu masa dimana agama belum mempengaruhi sikapnya. Kedua, masa
ketidaktenangan yaitu masa dimana agama mulai mempengaruhinya. Ketiga,
masa konversi yaitu masa dimana konflik batin mulai reda sehingga melakukan
konversi. Keempat, masa tenang dan tentram yaitu masa dimana batin puas
akan keputusannya. Kelima, masa ekspresi konversi yaitu masa
mengungkapkan sikap menerima terhadap agama barunya.[12]
Dengan
demikian, faktor penyebab dari konversi agama adalah petunjuk ilahi dan faktor
intern (pribadi) serta faktor ekstern (lingkungan). Namun, belakangan ini ada
segelintir orang yang melakukan konversi agama karena diberi mie instan yang
disebabkan oleh faktor kemiskinan. Hal ini banyak terjadi ketika ada bencana
seperti tsunami, kebakaran, dan bencana lainnya. Hal ini terjadi di Aceh ketika
dilanda Tsunami pada tahun 2002. Di Aceh oleh salah satu majalah Islam
mengungkapkan bahwa banyak rakyat Aceh melakukan konversi agama yang dilakukan
oleh para relawan asing.
Konversi
agama melalui proses yang cukup panjang dimulai dari acuh-acuh terhadap agama
kemudian agama mulai mempengaruhi batinya kemudian melakukan konversi
selanjutnya puas terhadap keputusannya dan akhirnya menunjukkan sikap menerima
terhadap agama yang baru dianutnya.
KESIMPULAN
Seorang
pasti akan mengalami perkembangan jiwa
keagamaan yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor intern berupa
hereditas, tingkat usia, kondisi kejiwaan, dan kepribadian. Selanjutnya
dipengaruhi oleh faktor ekstern berupa lingkungan keluarga, institusi, dan
masyarakat. Perkembangan jiwa keagamaan dapat merujuk kepada hal yang positif,
juga kepada hal yang negative.
Ketika
seorang mengalami perkembangan jiwa keagamaan tentunya pada prosesnya akan
mengamali gangguan dan hambatan jika tidak dipahami dengan baik. Gangguan
tersebut berupa atheis yaitu meniadakan agama dan Tuhan, agnotisisme yaitu
suatu hal yang tidak masuk akan atau rasional dianggap tidak ada seperti halnya
Tuhan, konversi agama yaitu perpindahan dari agama lama ke agama baru dan fanatisme
yaitu sifat yang menganggap paling benar ajarannya dan sering melakukan
kekerasan dalam pembenaran keyakinannya. Hal ini akan berdampak pada konflik
antaragama. Yang jelas bahwa setiap manusia akan mengalami perkembangan jiwa
keagamaan, namun dalam perkembangan tersebut ada hal yang menjadi gangguan dan
terjadinya perilaku yang menyimpang.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahannya. Diponegoro, 2006
Jalaluddin. 2010. Psikologi Agama. Raja Grafindo :
Jakarta.
Ramayulis. Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mulia,
2002.
Wahab, Rohmalina. 2010. Psikologi Agama. Palembang
: Grafika Telindo.
0 komentar:
Posting Komentar