A. Pendahuluan
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam berdiri sekitar pertengahan abad ke-5 M.
Dengan ditandai berdirinya madrasah yang megah yaitu Madrasah Nizhamiyah di
Baghdad.[1]
Pada awal berdirinya, madrasah sudah memiliki sistem administrasi yang teratur
dan rapi serta memberikan kebebasan pada guru dan siswa dalam proses belajar
mengajar.
Madrasah
merupakan lembaga pendidikan yang berciri khas Islam yang menarik perhatian masyarakat
dewasa ini, karena eksistensinya dan peran yang tampak dalam peraturan
Pendidikan Nasional. Peran itu terlihat antara lain dengan adanya reposisi
madrasah dalam menghasilkan pendidikan putra bangsa, bermoral tinggi, menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi secara beriringan, sekaligus juga meninggalkan
pola manajemen konvensional yang selama ini dianggap memberikan kontribusi
terhadap keterbelakangan para lulusan madrasah itu sendiri.[2]
Fenomena
keterbelakangan madrasah terlihat dari lulusan madrasah yang kurang terampil
dan tidak sesuai dengan tujuan dari pendidikan tersebut serta tidak mampu
bersosialisasi dengan masyarakat secara baik, misalnya lulusan madrasah tidak
paham tentang agama Islam, tidak bisa mengaji Al-Qur’an dan lain sebagainya.
Permasalahan madrasah bukan hanya dari siswa tetapi melibatkan semua komponen
pendidikan di antaranya kurangnya keprofesionalan guru atau kurikulumnya.
Fenomena ini tentunya sudah dipikirkan oleh para pakar pendidikan Islam untuk
memperbaiki mutu pendidikan madrasah tersebut. Niat ini tentunya perlu didukung
oleh semua pihak terutama masyarakat Islam baik dari segi pemikiran atau dana.
Dalam
perkembangannya yang panjang eksistensi madrasah melahirkan banyak hal positif
dan negatif, sesuai dengan pasang surut kualitas para pengelola yang terkait di
dalamnya. Tetapi prospek madrasah di masa depan cukup cerah, karena pendidikan
semacam ini dibutuhkan dalam menghadapi tantangan dunia yang semakin global.
Madrasah yang kaya pengalaman, memiliki ciri khas keIslaman dan mengutamakan
pendidikan moral merupakan reaktualisasi potensi madrasah dalam memenuhi
kebutuhan serta pemberdayaan masyarakat.[3]
Menghadapi tantangan globalisasi yang tidak memiliki batas wilayah, pendidikan
madrasah dapat dijadikan benteng diri dari arus globalisasi yang membawa kepada
kerusakan pada pemikiran dan moral anak bangsa.
B. Isu-isu Pendidikan Islam di Madrasah : Tinjauan terhadap
Strategi Peningkatan Mutu Madrasah dalam Pentas Pendidikan Nasional
1.
Konsepsi tentang
Strategi dan Mutu
Sebelum
kita membahas tentang isu-isu pendidikan Islam di madrasah ditinjau dari
strategi dan mutu. Terlebih dahulu dijelaskan tentang pengertian strategi dan
mutu. Pupuh Fathurrohman mendefenisikan strategi adalah suatu garis besar
haluan dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.[4]
Sedangkan Solusu mendefenisikan strategi sebagai suatu seni menggunakan
kecakapan dan sumber daya untuk mencapai sasaran melalui hubungan efektif
dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan. Selanjutnya Jhon R.
Scherchom menjelaskan “a strategy is comprehensive plan the set critical
direction and guides the allocation of resources to achieve long-term or
organizational objectives”.[5]
Berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan strategi merupakan suatu
cara/kiat dalam bertindak dengan menggunakan kecakapan dan sumber daya untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan secara optimal.
Untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, suatu strategi amat diperlukan karena
madrasah sebagai lembaga pendidikan yang memiliki sistem pendidikan yang teratur.
Strategi tidak dapat berbuat apa pun jika tidak digunakan oleh unsur-unsur
dalam lembaga tersebut. Oleh karena itu, diperlukan komitmen oleh semua pihak
dalam suatu lembaga.
Menurut
Akmal Hawi, mutu merupakan kata kunci suksesnya bersaing dalam kinerja
berusaha, termasuk dalam bidang pendidikan. Hal ini berdasarkan pada pendapat Pfeffer
dan Coote, perkataan mutu menunjukkan kepada suatu ukuran penilaian
atau penghargaan yang diberikan pada barang atau jasa berdasarkan pertimbangann
objektif atau bobot atau kinerjanya.[6]
Mutu
merupakan kualitas yang memiliki standar atau patokan. Semua lembaga pendidikan
termasuk madrasah mempunyai keinginan yaitu sebagai lembaga pendidikan yang
berkualitas di semua unsur seperti guru dan siswa. Untuk mencapai mutu yang
baik, tentunya harus memiliki strategi yang baik serta sinergitas antarkomponen
pendidikan.
2.
Permasalahan
Madrasah
Madrasah
merupakan lembaga pendidikan yang menjadi tumpuan harapan masyarakat muslim untuk
kepentingan pendidikan anak mereka. Harapan itu tidaklah berlebihan mengingat
mayoritas masyarakat Indonesia adalah Islam. Hanya saja sampai saat ini
madrasah dalam kanca pendidikan nasional masih tertinggal dari lembaga
pendidikan umum lainnya, khususnya dalam bidang eksakta dan teknologi. Meskipun
usaha perbaikan telah dilakukan dengan memperbaiki kurikulum, yakni memberi
mata pelajaran umum 70% dan sisanya pelajaran agama.[7]
Permasalahan yang terjadi di madrasah merupakan masalah yang harus diselesaikan
dengan pemikiran-pemikiran yang rasional dan diikuti dengan keikhlasan dalam
beramal. Dengan demikian terciptanya mutu pendidikan yang sesuai dengan
harapan.
Lembaga
pendidikan dalam bentuk madrasah di Indonesia cukup banyak, tetapi terbesar
adalah berstatus swasta, yakni lebih kurang 96,4%, sedangkan yang berstatus
negeri hanya lebih kurang 3,6% dengan total keseluruhan 49.945 buah.[8]
Jumlah tersebut mengindikasikan bahwa kepercayaan masyarakat kepada lembaga
pendidikan dalam bentuk madrasah sangat tinggi. Diharapkan kepada seluruh
lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah untuk tidak menyia-nyiakan kepercayaan
tersebut dengan melakukan terobosan yang positif dan berusaha memperbaiki
kelemahan-kelemahan dalam sistem pendidikan madrasah.
Menurut
Akmal Hawi, ada beberapa sisi kelemahan-kelemanahan yang secara mendasar
dimiliki oleh madrasah, antara lain :
a.
Secara struktural, pola
kebijakan penyelenggaraan madrasah cenderung bersifat sentralistik. Hampir
setiap urusan diatur dan dikendalikan secara terpusat, mulai dari sistem
pengelolaan lembaga sampai kepada teknis pengelolaan pembelajaran. Sehingga
istilah “otonomi paedagogiknya terampas”, karena guru hanya bertindak sebagai
operator.
b.
Secara manajerial, sistem
pengangkatan tenaga pendidik yang berlum profesional dan masih bermakna defendent,
keadaan ini cenderung mempengaruhi proses perkembangan madrasah. Begitu
juga dengan pengangkatan dan pembinaan kepala sekolah sebagai figur sentral di
sekolahnya.
c.
Secara finansial, madrasah
dalam posisi ini masih sangat kekurangan. Perhatian pemerintah dirasakan belum
begitu optimal bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum lainnya. Keadaan
tersebut berlangsung hingga sekarang.
d.
Secara potensial,
pemberdayaan peran serta masyarakat baru pada kepentingan dukungan finansial
dan terbatas lewat BP3, sedangkan sumber-sumber daya pendidikan yang lainnya
masih belum terjamah secara optimal untuk penyelenggara pendidikan.
e.
Belum adanya organisasi
yang berjuang sungguh-sungguh untuk kepentingan madrasah secara umum.[9]
Dari
pendapat di atas, Akmal Hawi ini, memandang permasalahan secara keseluruhan
dari madrasah. Permasalahan tersebut terdiri dari segi struktural
(kepengurusan), manajerial (pengelolaan), biaya, pemberdayaan peran masyarakat.
Banyak
para pakar pendidikan umum dan agama mengomentari permasalahan yang dihadapi
oleh madrasah. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut sebagai berikut :
a.
Romo Mangun Wijaya, bahwa
proses pembelajaran di lembaga pendidikan khususnya agama dalam proses
pembelajaran lebih mementikan huruf daripada roh, lebih mendahulukan tafsiran
harfiah di atas cinta kasih.
b.
Azyumardi Azra, bahwa
metodologis pembelajaran PAI masih terjebak ke dalam metodologis yang bersifat
kognitif dogmatif.[10]
c. Nurcholis Madjid, bahwa kegagalan pendidikan agama disebabkan Pendidikan
Agama Islam lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formal dan hafalan,
bukan pada pemaknaannya (Pikiran Rakyat, 30 juni 2003).
d. Materi Agama (Said Agil al-Munawar), bahwa Pendidikan
Agama Islam di sekolah mengalami masalah metodologi, (Pikiran Rakyat,
2003:9)[11]
Berdasarkan
permasalahan yang terjadi di madrasah tersebut, menjelaskan pokok
permasalahannya adalah terletak pada proses pembelajaran di madrasah, seperti
metodologi. Permasalahan tersebut bukan hanya pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan oleh pemerintah saja, melainkan permasalahan bagi umat Islam di
Indonesia. Era globalisasi sangat membutuhkan sekali lembaga pendidikan yang
bernuansa agama untuk membentengi diri anak
didik dari pengaruh negatif globalisasi dan mempergunakan globalisasi sesuai
dengan petunjuk Islam. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam harus
mengutamakan pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak merupakan ruhnya daripada
pendidikan Islam. Sesuai dengan sabda Rasul Saw : Sesungguhnya Aku
(Muhammad) diutus di muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak.
Mengenai
krisis pendidikan Islam di dunia termasuk madrasah, Dr. Fadhil al-Djamaly
menghimbau agar umat Islam menciptakan pendidikan yang didasari kepada keimanan
kepada Allah, karena hanya iman yang benarlah yang menjadi dasar pendidikan
yang benar dan memimpin kita kepada usaha yang mendalami hakikat dan menuntut
ilmu yang benar sedang ilmu yang benar memimpin kita ke arah amal yang shaleh.[12]
Hakikat dari penyelenggaraan pendidikan Islam khususnya madrasah harus
diniatkan ikhlas karena Allah Swt. dan bentuk ibadah kepada-Nya, dengan niat
ibadah tersebut dapat melahirkan anak-anak didik yang berkualitas.
3.
Peningkatan Mutu
Madrasah
Dalam
rangka untuk meningkatkan mutu madrasah baik secara kualitatif dan kuantitatif.
Perlu dilakukan strategi untuk meningkatkan mutu tersebut. Namun, dalam hal
dibutuhkan kerjasama dan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dengan
madrasah. Menurut Akmal Hawi, berikut strategi peningkatan mutu madrasah yang
dapat dilakukan dengan usaha sebagai berikut :
a.
Akuntabilitas Proses
Untuk
meningkatkan mutu madrasah, maka upaya yang paling efektif dengan cara
peningkatan akuntabilitas proses pendidikannya. Akuntabilitas proses diharapkan
benar-benar mampu menjamin madrasah yang
dapat menjaga dan meningkatkan mutunya secara progresif dan terus menerus. Mutu
di sini tidak hanya menyangkut masalah isi saja, melainkan juga kesesuaian
metodologi pembelajaran.
Akuntabilitas
proses pendidikan dikembangkan dengan cara :
1)
Lebih pada kegiatan belajar
daripada mengajar.
2)
Orientasi pelatihan guru
lebih kepada memfasilitasi proses belajar daripada mengajar.
3)
Menerapkan pengembangan
kurikulum secara komprehensif yang dirancang untuk memelihara integritas
pengembangan kemampuan akademik dan teknis dalam proses pembelajaran.
4)
Mengembangkan sistem
penilaian menyeluruh terhadap peserta didik untuk menentukan keberhasilan
pendidikan sesuai tuntunan masyarakat.
5)
Menerapkan manajemen sistem
pendidikan dan pelatihan yang efektif dan efesien dengan memanfaatkan hasil
pengalaman belajar awal, sehingga dapat diketahui pengalaman belajar mana yang
sudah dimiliki dan belum dikuasai.
6)
Mengembangkan manajemen
berbasis pada masyarakat sekolah, sehingga program dan proses pendidikan yang
berlangsung dapat diterima dan didukung masyarakat.[13]
Pendapat
Akmal Hawi ini menjelaskan bahwa sekolah harus bertanggung jawab dalam hal
pelaksanaan proses pembelajaran di madrasah. Madrasah harus meningkatkan mutu
proses pembelajaran dengan melakukan tindakan seperti guru harus mengajak siswa
aktif dalam proses pembelajaran bukan pengajaran (identik dengan guru sebagai
pusat); guru berperan sebagai fasilitator (mengetahui apa yang dikehendaki oleh
anak didik); guru menitik-beratkan dalam hal kognitif, afektif, dan
psikomotorik begitu juga dalam hal penilaian; sebelum mengajar guru harus
melakukan post test; dan mendidik anak didik sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
b.
Profesionalisme
Profesionalisme
merupakan aspek penting lainnya untuk menentukan kualitas pendidikan. Selama
ini di madrasah belum sepenuhnya menempatkan para profesional secara memadai
untuk menunjang kegiatannya.
Pertama,
guru sebagai penanggungjawab utama perlu mendapatkan perhatian yang
sungguh-sungguh. Karena didasari bahwa penentu keberhasilan pelaksanaan
pendidikan di madrasah lebih banyak bertumpu pada manajemen guru, sehingga
berbagai aspek yang berkaitan dengan guru perlu diperhitungkan, di antaranya,
aspek rekrutmen, pelatihan perkembangan karir, dan isentif.
Kedua,
kepala sekolah sebagai personil yang memiliki posisi sangat strategis dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena penunjukkan kepala sekolah harus
melalui seleksi ketat. Apabila memungkinkan dapat dibentuk dewan sekolah yang
bertugas di antaranya mengadakan pemilihan kepala sekolah. Setelah melalui
proses demokratis, kemudian diusulkan kepada pihak Departemen Agama untuk
mengeluarkan SK-nya.[14]
Menurut
Surya, guru yang profesional akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian
tugas-tugas yang ditindai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode.
Selain itu, juga ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan
seluruh pengabdiannya.[15]
Dalam
lembaga pendidikan Islam, istilah “guru salah kamar” merupakan istilah
yang sudah biasa di lembaga ini. Seperti guru Matematika mengajar PAI, guru PAI
mengajar Olahraga. Lembaga pendidikan Islam dituntut untuk merekrut guru yang
sesuai dengan sertifikat pendidiknya, berpengalaman, dan diberi gaji tambahan
untuk kesejahteraan guru. Selanjutnya dalam hal pemilihan kepala sekolah harus
diserahkan kepada komite sekolahnya bukan kepada Depag. Biasanya kepala sekolah
yang dipilih oleh Depag lebih kepada hubungan keluarga (nepotisme), dapat
diinterpensi, terjadinya korupsi berjemaah. Kepala sekolah yang dipilih oleh
Depag tidak sesuai dengan aspirasi guru.
c.
Meningkatkan Anggaran Biaya
Berkenaan
dengan pembiayaan madrasah, maka perlu upaya sistematis dan terprogram untuk
memperjuangkan anggaran pendidikan lebih besar dan keadaan sekarang, sehingga
pos-pos pengeluaran untuk kepentingan peningkatan mutu madrasah dapat terpenuhi
secara baik, seperti pengadaan sarana dan prasarana.
Pihak
Departemen Agama haruslah melakukan upaya lobi yang sungguh untuk mendapatkan
anggaran biaya pendidikan yang lebih besar untuk madrasah. Upaya ini memiliki
arti penting meningkatkan mutu dan citra madrasah. Di sisi status madrasah
disamakan dengan kedudukannya dengan sekolah di bawah naungan Dinas Pendidikan
Nasional, namun dari sisi finansial ada ketidak adilan yang terjadi. Dualisme
perlakuan selama ini harus segera disadari dan dilakukan upaya nyata dalam
rangka peningkatan mutu madrasah.[16]
Untuk
menciptakan anak yang berakhlak mulia, lembaga pendidikan Islam memerlukan
biaya sebagai suatu usaha untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Untuk itu
pihak Depag harus mengetahui hal tersebut dengan melakukan lobi kepada
pemerintah atau kepada pihak swasta untuk mendapatkan biaya yang besar seperti
halnya yang diterima oleh Diknas. Lembaga pendidikan Islam selalu mendapatkan
diskriminasi (dalam hal biaya) dari pemerintah. Menurut Amin Suyitno, negara
dan agama merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan. Selanjutnya, agama
memiliki peran yang amat besar dalam hal memajukan suatu negara seperti halnya
pendidikan. Untuk itu, tidak ada alasan bagi pemerintah tidak membantu keperluan
agama Islam (termasuk pendidikan yang dikembangkan oleh ormas Islam) mengingat
perannya yang amat besar.[17]
Dengan demikian, jika pemerintah tidak membantu lembaga pendidikan Islam
berarti pemerintah lupa akan sejarah negara ini.
d.
Meningkatkan Peranserta
Masyarakat
Menyadari
akan pentingnya peranserta masyarakat dalam peningkatan mutu madrasah haruslah
dimaknai secara luas, yang tidak hanya memberikan kontribusi secara finansial
bagi kepentingan madrasah seperti yang dilakukan BP3 selama ini, namun juga
sama pentingnya yaitu keterlibatan masyarakat dalam memerankan dirinya sebagai
pengendali kualitas madrasah.
Keberadaan
BP3 selama ini harus segera diganti dengan nama lain sebab nama tersebut
bermakna sempit hanya untuk kepentingan
kegiatan pengumpulan dana sekolah saja. Upaya pergantian nama seperti dengan
dewan sekolah (madrasah) atau POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru)
diharapkan dapat meningkatkan peranserta masyarakat memajukan masyarakat.
Melalui
dewan sekolah (madrasah) atau POMG, orang tua dan masyarakat dapat
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan sekolah. Dengan demikian masyarakat
dapat memahami, mengawasi, dan membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk
dalam kegiatan belajar. Besarnya peranan masyarakat dalam pengelolaan sekolah
tersebut mungkin dapat menimbulkan benturan kepentingan antara madrasah dengan
masyarakat. Untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan antara sekolah,
orang tua dan masyarakat, maka perlu dirumuskan batasan peranan masing-masing.[18]
Menurut
Akmal Hawi, peranserta masyarakat jangan hanya terletak pada segi finansial
(biaya). Madrasah membutuhkan peranserta masyarakat bukan hanya dibidang
finansial, melainkan peran dalam hal pengawasan, pemikiran dan moral. Pengawasan
dalam artian mengawasi penyelenggaraan proses pembelajaran, biaya operasional
sekolah, kebijakan sekolah. Pemikiran dalam artian memberikan kontribusi
pemikiran berupa ide dan gagasan. Dan moral dalam artian memberikan semangat,
motivasi, mencontohkan akhlak yang baik kepada anak didik. Namun Akmal Hawi
menegaskan perlu diberikan pembatasan dalam hal peranserta masyarakat, agar
masyarakat tidak terlalu jauh ikut mencampuri urusan sekolah. Jika terlalu jauh
ikut campur, maka kemandirian dari suatu sekolah akan lenyap. Tentunya hal ini
berlawanan akan harapan pemerintah untuk membuat suatu sekolah yang mandiri.
e.
Evaluasi Diri
Penggunaan
istilah evaluasi untuk sekolah-sekolah khususnya madrasah masih belum populer,
padahal evaluasi diri ini merupakan keadaan dimana kita dapat melihat tingkat
keberhasilan proses pendidikan yang berlangsung serta kelemahannya sehingga
dapat segera diperbaiki.
Proses
evaluasi dan berkaitan erat dengan analisa terhadap data yang dikumpulkan
berkaitan dengan komponen :
1)
Efesiensi, merupakan
keterkaitan antara masukan/sumber daya dan proses, dan menunjukkan derajat
kehematan dalam pengunaan sumber daya dalam proses.
2)
Produktivitas, merupakan keterkaitan
antara proses dan keluaran (dalam hal ini), menunjukkan jumlah satuan hasil
yang terjadi karena suatu proses tertentu, dihitung berdasarkan penggunaan
sumber daya tertentu.
3)
Efektivitas, merupakan keterkaitan
antara tujuan dan hasil yang dinyatakan, dan menunjukkan derajat kesesuaian
antara tujuan yang dinyatakan dengan hasil yang dicapai.
4)
Akuntabilitas, merupakan
derajat pertanggunngjawaban dalam penyelenggaraan madrasah (sekolah).
5)
Kemampuan inovasi,
berhubungan derajat kelenturan madrasah atau program-program terhadap perubahan
yang terjadi di masyarakat.[19]
Menurut
Anas Sudjiono, bahwa evaluasi pendidikan memiliki fungsi sebagai berikut :
1)
Mengukur kemajuan
2)
Menunjang penyusunan
rencana
3)
Memperbaiki atau melakukan
penyempurnaan kembali.[20]
Selanjutnya,
menurut Sukmadinata, bahwa ada dua bentuk yang menjadi objek evaluasi yaitu : 1)
evaluasi hasil belajar; dan 2) evaluasi pelaksanaan pembelajaran.[21]
Evaluasi
merupakan tahap akhir dari kesemua komponen di atas. Evaluasi digunakan untuk
menilai seberapa jauh keberhasilan dalam proses pembelajaran dan untuk
perbaikan. Evaluasi merupakan hal yang penting karena dengan evaluasi kita
dapat mengetahui keberhasilan yang dicapai dan mana komponen-komponen yang akan
diperbaiki untuk selanjutnya.
Mengenai
peningkatan mutu madrasah dalam suatu situs menjelaskan bahwa, upaya
meningkatkan mutu pendidikan sudah sejak lama dilakukan pemerintah. Beberapa
aspek yang menjadi sasaran dalam upaya tersebut adalah meningkatkan kemampuan
guru sehubungan dengan mutu Proses Belajar Mengajar (PBM). Meningkatkan
kemampuan Kepala Sekolah sehubungan dengan pengelolaan dan manajemen sekolah.
Kemampuan para Supervisor/pengawas sehubungan dengan proses pengawasan dan
penilaian pelaksanaan pendidikan di sekolah. [22]
C. Kesimpulan
Lembaga
pendidikan Islam khususnya madrasah memiliki banyak permasalahan yang
dihadapinya seperti permasalah perekrutan tenaga pengajar; pemilihan kepala
sekolah; kurangnya biaya; kurangnya semangat juang organisasi pendidikan; dan
pemberdayaan peranserta masyarakat. Untuk menyelesaikan permalahan tersebut
diperlukankan strategi yang jitu untuk mencapai mutu pendidikan yang berkualitas.
Adapun
yang perlu dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah untuk
meningkatkan mutunya adalah akuntabilitas proses, profesionalisme, peningkatan
anggaran biaya, meningkatkan peranserta masyarakat, dan evaluasi diri.
Diharapkan solusi tersebut dapat meningkatkan mutu pendidikan madrasah.
Daftar
Pustaka
Abdurahmansyah. 2009. Teori Pengembangan Kurikulum dan
Aplikasi. Jakarta. Grafika Telindo Press.
Arifin, Muzayyin Arifin. 2009. Kapita Selekta
Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara.
Djamaludin dan Abdullah Aly. 1999. Kapita Selekta
Pendidikan Islam. Bandung. Pustaka Setia.
Fathurrohman, Pupuh dan Sobri Sutikno. 2010. Strategi
Belajar Mengajar. Bandung. Refika Aditama.
Forum diskusi mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam
Hawi, Akmal. 2008. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Palembang.
IAIN Raden Fatah Press.
Kunandar. 2010. Guru Profesional. Jakarta. Raja
Grafindo Persada.
Niswah, Choirun. 2010. Sejarah Pendidikan Islam (Timur
Tengah dan Indonesia). Palembang. Rafah Press.
Sudjiono, Anas. 2011. Evaluasi Pendidikan. Jakarta.
Raja Grafindo Persada.
Suyitno, Amin. Bedah Buku “Matahari Terbit Bintang
Sembilan”, di sampaikan di Ruang Seminar Pasca Sarjana IAIN Raden Fatah
Palembang.
http://semy22.blogspot.com/2010/04/seni-dan-budaya-dalam-pendidikan-agama.html, Di Akses 06 April 2011, 14:55
0 komentar:
Posting Komentar