A. Pendahuluan
Campur
tangan atau pengaruh pemerintah/penguasa terhadap pendidikan cukup besar dengan
segala kebijakan yang ditempuh demi suksesnya pendidikan seluruh warga negara.
Namun di zaman penjajahan, kebijakan-kebijakan pendidikannya tentu
disesuaikan/diarahkan pula dengan niat politik yang mereka lakukan, seperti
politik “pecah belah” (devide et impera atau devided and imperial), politik
etis, Hakko Ichiu (Jepang), dan sebagainya. Tetapi di zaman kemerdekaan,
pendidikan kita mulai dibangkitkan kembali melalui pendidikan yang bersifat
patriotisme, kesadaran nasional sampai dengan pendidikan nasional Pancasila.[1]
Pendidikan
sebagai suatu sistem tidak bisa dilepaskan dari kondisi politik. Antara politik
dan pendidikan Islam terjalin hubungan yang erat. Berubah-ubahnya kebijakan
politik dapat mempengaruhi pelaksanaan pendidikan Islam diantaranya madrasah.
Oleh karena itu, agar para penguasa untuk berhati-hati dalam kebijakan
politiknya yang akan berakibat pada berubahnya pelaksanaan pendidikan. Hal ini
terjadi pada zaman Dinasti Abbasiyah yang mengalami masa kejayaan pendidikan
Islam dikarenakan kebijakan politik. Dan pendidikan Islam mengalami kemunduran
disebabkan oleh kebijakan politik. Dengan demikian kebijakan politik dan
pendidikan tidak dapat dipisahkan.
Sebagai
contoh, kebijakan kolonialisme Belanda dalam pendidikan diikutsertakan dengan
politik pecah-belanya dan politik etis (balas budi). Pada zaman Belanda,
pendidikan hanya didapatkan oleh anak-anak pejabat seperti gubernur, bupati,
dan lurah. Sedangkan anak pribumi sulit untuk mendapatkan pendidikan yang layak
dan selalu dicurigai. Namun, ada sebagian dari orang Belanda untuk melakukan politik
balas budi kepada rakyat pribumi dikarenakan mereka banyak memperoleh kekayaan
negeri yang dijajahnya. Dengan politik ini, rakyat pribumi dari golongan bawah
mulai mendapatkan pendidikan.
Kebijakan
politik pendidikan juga terjadi di Indonesia yang dimulai dari zaman Hindu
Budha serta kerajaan Islam, zaman kolonialisme (Belanda, Portugis, Inggris, dan
sebagainya), Jepang, zaman kemerdekaan (orde lama dan orde baru), sampai zaman
reformasi (hingga sekarang). Melihat alur yang cukup panjang mengenai kondisi
pendidikan Indonesia, mengindikasikan berubah-ubahnya kebijakan dalam hal
pendidikan. kebijakan-kebijakan politik dalam dunia pendidikan akan dibahasan
dalam makalah ini.
B. Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Islam di Indonesia :
Zaman Belanda, Kemerdekaan dan Reformasi
1.
Zaman Belanda
a.
Zaman VOC (Verenigde
Oost-Indische Compagnie)
Orang
Belanda datang ke Indonesia bukan untuk menjajah melainkan berdagang. Mereka
termotivasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya,
sekalipun harus mengarung lautan yang berbahaya untuk mengambil rempah-rempah
dari Indonesia. Namun pedagang itu merasa perlunya tempat permanen di daratan
untuk menjadi tempat berlabuhnya kapal. Kantor dagang itu kemudian di diperkuat
dan dipersenjatai dan menjadi benteng yang akhirnya menjadi landasan untuk
menguasai daerah sekitarnya.[2]
Akhirnya dengan peperangan dengan intensitas yang tinggi, Indonesia jatuh di
bawah pemerintahan Belanda.
Kebijakan
pendidikan VOC adalah melanjutkan kebijakan yang telah dimulai oleh orang-orang
Portugis, terutama berdasarkan agama Kristen Protestan. Meskipun pada abad
ke-17 dan 18 di negeri Belanda khususnya dan di Eropa umumnya, pengaruh gereja
terhadap pendidikan sangat memegang peranan, tetapi di Indonesia VOC lebih
berkuasa daripada gereja, walaupun kegiatan utama mereka adalah berdagang
rempah-rempah. Dengan demikianlah dapatlah dibayangkan bahwa kebijakan-kebijakan
pendidikan VOC, tentu saja berdasarkan prinsip komersial atau bisnis atau
perhitungan-perhitungan untung dan rugi dan hukum-hukum ekonomi/perdagangan. Selanjutnya
pada Tahun 1617 didirikan sekolah yang di Batavia (Jakarta) bersifat pendidikan
dasar yang bertujuan untuk memberikan pendidikan budi pekerti bercorak agama
adapun sifat dari pendidikan pada waktu itu dimaksudkan sebagai pengisian
tenaga kerja terutama keluarga VOC, dimaksudkan sebagai tangan-tangan VOC di
dalam melakukan pemerintahannya.
Hal
senada diungkapkan oleh DR. Kartini Kartono, dia mengemukakan bahwa pengajaran
di masa colonial tidak bertujuan membangun angkatan muda yang bersedia
mengabdikan diri pada tanah air sendiri, tetapi bertujuan :
1)
Menanamkan nilai-nilai
masyarakat penjajah.
2)
Memupuk kesediaan
orang-orang muda pribumi untuk dinas menjadi pegawai pemerintah dan serdadu kolonial.[3]
Menurut
H.A.R. Tilaar, bahwa pendidikan bagi orang-orang pribumi yang beragama Islam
tidak menjadi soal, karena kelanjutan sistem-sistem langgar, pesantren dan
madrasah berjalan terus. Memang apabila kita berbicara mengenai pendidikan
Islam maka kita akan membicarakan mengenai pesantren dan madrasah. Sebenarnya
pemikiran tentang pendidikan tak pernah dilakukan oleh penguasa VOC, secara
serius, tetapi baru setelah keadaan komersial dan finansial perusahaannya
menurun pada akhir abad ke-18, tokoh-tokoh VOC mulai memperhatikan bidang
pendidikan di daerah kekuasaannya. Pada umumnya guru-gurunya adalah warga
negara Kristen yang harus mendapat lisensi dan penguasa kompeni agar kebijakan
VOC tak terlanggar, sekolah yang berkembang pada waktu itu adalah sekolah
dasar, sekolah latin, seminarium theologicum, sekolah Cina dan akademi
pelayaran.[4]
Pendidikan
pesantren memang sudah ada sebelum VOC menjajah Indonesia. Pendidikan ini terus
berkembang hingga sekarang. Intinya kebijakan pemerintah VOC terhadap
pendidikan di negeri jajahannya harus berdasarkan hukum ekonomi atau finansial.
Sekolah didirikan untuk kepentingan keluarga dan finansial mereka. Guru-guru
yang mengajar di sekolah VOC harus mendapatkan lisensi dari mereka agar
kebijakan-kebijakan mereka tetap berlaku di negeri jajahan tentunya kekayaan
negeri kita tetap mereka dapatkan untuk memajukan perusahaan mereka.
Dengan
demikian, kebijakan pendidikan pada zaman VOC lebih kepada segi komersial
dengan artian menguntungkan pihak VOC itu sendiri. Mereka mendidik anak-anak
VOC untuk melanjutkan hegemoni di tanah jajahan dan rakyat pribumi disekolahkan
untuk membantu kemajuan perusahaan di bawah naungan VOC.
b.
Zaman Pemerintahan
Hindia Belanda
Kemunduran
perusahaan VOC pada akhir abad ke-18 menyebabkan VOC tidak sanggup dan dapat
berfungsi lagi sehingga menyerahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Bersamaan
dengan peristiwa tersebut terjadi pulalah perubahan pandangan prinsip
pendidikan. prinsip-prinsip pendidikan mereka sebagai berikut :
1)
Pemerintah kolonial
berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu.
2)
Pendidikan diarahkan agar
para tamatannya menjadi pencari kerja, terutama demi kepentingan kaum penjajah.
3)
Sistem persekolahan disusun
berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat.
4)
Pendidikan diarahkan untuk
golongan elite social (penjilat penjajah) Belanda.
5)
Dasar pendidikannya adalah
dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada pengetahuan dan kebudayaan Barat.[5]
Kedatangan
bangsa Barat di satu pihak memang telah membawa kemajuan teknologi, tetapi
kemajuan teknologi tersebut bukan dinikmati penduduk pribumi, tujuannya
hanyalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya. Begitu pula halnya dengan
pendidikan, mereka telah memperkenalkan sistem dan metodologi baru yang lebih
efektif, namun semua itu dilakukan sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga
yang dapat membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan yang murah
sekali dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga-tenaga dari
Barat.
Dalam
kenyataannya Belanda sebagai penjajah benar-benar menggeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan memeras tenaga, sumber alam dan sebagainya. Sementara
di lain pihak diadakan semacam pembodohan terhadap penduduk pribumi. Karena itu
Belanda sebagai penjajah lain, seperti Inggris misalnya. Inggris dapat
memajukan negeri jajahannya seperti Singapura, Hongkong, Malaysia, sedangkan
Belanda tidak mampu.
Apa
yang mereka sebut pembaharuan pendidikan, itu adalah westenisasi dan kristenisasi
yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai
kebijaksanaan penjajahan Belanda di Indonesia yang berlangsung selama 3,5 abad.
Bagi rakyat Indonesia memandang orang Barat tersebut melainkan sebagai penjajah
dan penakluk, kaum imperalis, tidak peduli mereka Katolik atau Nasrani. Dalam
dada penjajah kuatnya ajaran dari politikus dan licik Machiavelli, yang
antara lain :
1)
Agama sangat diperlukan
bagi pemerintah penjajah.
2)
Agama tersebut dipakai
untuk menjinakkan dan menaklukkan rakyat.
3)
Setiap aliran agama yang
dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan harus dibawa untuk memecah
belah dan agar mereka berbuat untuk mencari bantuan kepada pemerintah.
4)
Janji dengan rakyat tak
perlu ditetapi jika merugikan.
5)
Tujuan dapat menghalalkan
segala cara.[6]
Kebijakan
Belanda dalam mengatur jalannya pendidikan tentu saja dimaksudkan untuk
kepentingan mereka sendiri terutama untuk kepentingan agama Kristen. Hal ini
terlihat, ketika Van Den Bosch menjadi Gubernur Jenderal Jakarta pada
tahun 1831, keluarlah kebijakan sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan
sebagai sekolah pemerintah, sedangkan departemen yang mengurus pendidikan dan
keagamaan dijadikan satu, sementara di setiap keresidenan didirikan satu
sekolah agama Kristen.
Inisiatif
untuk mendirikan lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi penduduk pribumi
adalah ketika Van Den Capellen menjaga Gubernur Jenderal Jakarta. Dari
dalam surat edarannya adalah menggambarkan tujuan dari didirikannya Sekolah
Dasar pada zaman itu. Politik yang dijalankan pemerintah Belanda terhadap
rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebenarnya didasari oleh rasa
ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu Kristen dan kolonialisme. Sehingga
dengan begitu mereka menerapkan berbagai peraturan dan kebijakan, di antaranya
:
1)
Pada tahun 1882, pemerintah
Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan
beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesterraden. Dari badan ini
inilah pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru yang
isinya bahwa orang memberikan pengajaran atau pengajian agama Islam harus
terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintah Belanda.
2)
Tahun 1925 keluar lagi
peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak
semua orang (kiai) boleh memberikan pelajaran mengaji terkecuali telah
mendapatkan semacam rekomendasi atau persetujuan pemerintah Belanda.
3)
Kemudian pada tahun 1932
keluar lagi peraturan yang isinya berupa kewenangan untuk memberantas dan
menutup madrasah atau sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran
yang tidak disukai oelh pemerintah Belanda yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde
School Ordonantie).[7]
Selain
itu pemerintah Belanda menerapkan kebijakan yang disaran oleh Snouck
Hurgronje yaitu :
1)
Menyarankan kepada
pemerintah colonial Belanda agar netral terhadap agama yakni tidak ikut campur
tangan dan tidak memihak kepada salah satu agama yang ada, menurutnya fanatisme
dalam Islam itu akan luntur sedikit demi sedikit melalui proses pendidikan
secara evolusi.
2)
Pemerintah Belanda
diharapkan dapat membendung masuk Pan Islamisme yang sedang berkembang
di Timur Tenggah, dengan jalan menghalangi masuknya buku-buku atau brosur lain
dari luar ke wilayah Indonesia, mengawasi kontak langsung dan tidak langsung
tokoh-tokoh Islam dengan tokoh luar, serta membatasi dan mengawasi orang-orang
yang pergi ke Mekkah, dan bahkan kalau memungkinkan melarangnya. Karena
dikhawatirkan pengalaman yang didapatkan di luar akan dibawa ke Indonesia dan
mempengaruhi kelanggengan kekuasaan kolonial.[8]
Dengan
demikian, kebijakan-kebijakan pendidikan Islam pada zaman Belanda bertujuan
untuk meningkatkan hasil jajahannya, memasukkan budaya-budaya Barat ke Indonesia,
dan misi kristenisasi. Walaupun kebijakan-kebijakan Belanda yang sangat ketat
dimulai dari pengawasan, tekanan, menghancurkan madrasah dan pesantren untuk
melumpuhkan pendidikan Islam di Indonesia. Namun keadaan tersebut berbalik arah
dari tujuannya. Bahkan dengan kebijakan-kebijakan yang ketat dapat
membangkitkan rasa ingin merdeka dan mengusir penjajah dari tanah jajahannya
seperti bersikap non-kooperatif dengan Belanda dan sebagainya.
2.
Zaman Kemerdekaan
Setelah
proklamasi dikumandangkan, sebagaimana dikemukakan terdahulu perubahan-perubahan
di berbagai aspek telah terjadi, tidak hanya dalam bidang pemerintahan, tetapi
juga dalam bidang pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan
merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut
penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa Indonesia.
Di tengah berkobarnya revolusi fisik pemerintah Indonesia tetap membina
pendidikan agama. Pembinaan pendidikan agama tersebut secara formal
institusional dipercayakan kepada Departemen Agama.[9]
Pemerintah dan bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan mewarisi sistem
pendidikan yang bersifat dualistis, yaitu:
1)
Sistem pendidikan dan
pengajaran modern yang bercorak sekuler atau sistem pendidikan dan pengajaran
pada sekolah-sekolah umum, yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial
Belanda.
2)
Sistem pendidikan Islam,
yang tumbuh dan berkembang di kalangan umat Islam sendiri, yaitu sistem
pendidikan dan pengajaran yang berlangsung di surau/langgar, masjid dan
pesantren serta madrasah yang bersifat tradisional dan bercorak keagamaan
semata-mata.
Pendidikan
agama Islam untuk sekolah umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada
bulan Desember 1946. Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang
menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (sekolah rakyat:
sekolah dasar). Keputusan tersebut belum berjalan dengan efektif dikarenakan
kondisi keamanan belum mantap. Pada tahun 1950 ketika kedaulatan telah pulih maka
rencana tersebut disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin
oleh Prof. Mahmud Yunus dari Depag dan Mr. Hadi dari Depdikbud. Hasilnya antara
lain :
1)
Pendidikan agama diberikan
mulai kelas IV SR.
2)
Di daerah-daerah yang
masyarakat agamanya kuat (misalnya Kalimantan dan Sumatera) maka pendidikan
agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan mutu pengetahuan umumnya tidak
boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya
diberikan mulai kelas IV SR.
3)
Di sekolah SLTP dan SLTA
(umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
4)
Pendidikan agama diberikan
kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapatkan izin
dari orang tua/wali.
5)
Pengangkatan guru agama,
biaya pendidikan agama dan materi pendidikan agama di tanggung oleh Depag.[10]
Selanjutnya
pendidikan agama diatur secara khusus dalam UU Nomor 4 tahun 1950 pada Bab XII
pasal 20, yaitu :
1)
Dalam sekolah-sekolah
negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anak-anaknya
akan mengikuti pelajaran tersebut.
2)
Cara penyelenggaraan agama
di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
Sementara
itu pada peraturan bersama Menteri P & K dan Menteri Agama Nomor :
1432/Kab, 20 Januari 1951 (P&K), Nomor K 1.1652/Tanggal 20 Januari 1951
(Agama) diatur tentang pendidikan agama di sekolah-sekolah, yaitu :
Pasal
1
Di tiap-tiap sekolah rendah dan
sekolah lanjutan (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama
Pasal
2
a.
Di sekolah-sekolah rendah
pendidikan agama dimulai dari kelas IV; banyaknya 2 jam dalam satu minggu.
b.
Di lingkungan yang istimewa
pendidikan agama dapat dimulai pada kelas 1 dan jamnya dapat ditambah menurut
kebutuhan. Tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu, dengan ketentuan bahwa mutu
pengetahuan umum bagi sekolah-sekolah rendah di lain lingkungan.
Pasal
3
Di sekolah-sekolah SLTP dan SLTA,
baik sekolah umum maupun sekolah-sekolah kejuruan, diberi pendidikan agama 2
jam dalam tiap-tiap minggu.
Pasal
4
a.
Pendidikan agam diberikan
menurut agama murid masing-masing.
b.
Pendidikan agam baru
diberikan pada suatu kelas mempunyai murid sekurang-kurangnya 10 orang yang
menganut suatu macam agama.
c.
Murid dalam suatu kelas
yang memeluk agama lain daripada agama yang sedang diajarkan pada suatu waktu,
boleh meninggalkan kelasnya selama pelajaran itu.[11]
Masa Peralihan Orde Lama ke Orde
Baru
Dalam
siding pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut : Bab II
pasal 2 ayat 3 dinyatakan bahwa : Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di
sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai universitas. Pada
tahun 1966 MPRS telah bersidang. Dalam keputusannya dibidang pendidikan agama
telah mengalami kemajuan yaitu pendidikan agama menjadi hak wajib dari Sekolah
Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi Umum negeri di seluruh Indonesia.
Dalam
siding MPR yang menyusun GBHN tahun 1973 hingga sekarang, selalu ditegaskan
bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri
dalam semua jenjang pendidikan, bahkan pendidikan agama seudah dikembangkan
sejak Taman Kanan-kanak.
Dengan
demikian, setelah merdeka, pendidikan Islam mulai mendapat kedudukan yang
sangat penting dalam sistem pendidikan nasional. Selain itu pendidikan agama di
sekolah juga mendapat tempat yang teratur, seksama, dan penuh perhatian.
Pendidikan Islam setahap demi setahap dimajukan. Istilah pesantren yang dulu
hanya mengajar agama di surau dan menolak modernitas pada zaman kolonial, sudah
mulai beradaptasi dengan tuntutan zaman. Bahkan, kini pesantren ikut mendirikan
madrasah dan sekolah umum, sehingga pemuda Islam diberi banyak pilihan.[12]
Pendidikan Islam juga secara institusional masuk dalam sistem pendidikan Islam,
pendidikan agama Islam menjadi pelajaran wajib di sekolah milik pemerintah,
sekolah-sekolah umum diberikan pendidikan agama selama 2 jam, serta ijazah
lembaga pendidikan Islam seperti madrasah diseterakan dengan sekolah milik
pemerintah.
3.
Zaman Reformasi
Pendidikan
agama Islam di negeri kita, adalah merupakan bagian dari Pendidikan Agama,
dimana tujuan utamanya ialah membinan dan mendasari kehidupan anak didik dengan
nilai-nilai agama dan sekaligus mengajarkan ilmu agama Islam, sehingga ia mampu
mengamalkan syari’at Islam secara benar dan sesuai pengetahuan agama.[13]
Untuk mengatur agar pendidikan berjalan dengan baik dan sesuai dengan hajat
orang banyak, dan setelah melalui proses yang panjang dengan berbagai macam
peraturan yang dikeluarkan, maka akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan
dengan memberlakukan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN).
Adapun
bunyi RUU Sisdiknas pasal 12 ayat (1a) versi DPR, maupun pasal 13 (1a) versi
Pemerintah adalah sama. Dengan bunyi sebagai berikut :
“Setiap
peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subjek dalam proses pendidikan
yang berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama”.[14]
Dari
bunyi undang-undang tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan agama harus
diajarkan di setiap satuan pendidikan dan diajarkan oleh orang yang seagama.
Guru-guru tersebut harus disediakan oleh pemerintah dan lembaga pendidikan
swasta.
Selanjutnya,
dari undang-undang ini menimbulkan permasalahan ketika perekrutan guru yang
seagama dengan peserta didik terjadi di sekolah swasta yang dikelola oleh
lembaga pendidikan non-Islam, sementara peserta didiknya terdiri dari
orang-orang Islam. Dan kenyataannya hampir tidak pernah ditemukan pada sekolah
Kristen/Katolik yang peserta didiknya terdapat orang-orang Islam, menyediakan
guru agama yang beragama Islam.[15]
Untuk memecahkan permasalahan tersebut, DPR mengusulkan sangsi bagi yang
melanggar melalui pasal 57 ayat (3) RUU Sisdiknas (versi 3 Oktober 2002) yang
berbunyi :
“Penyelenggaraan
pendidikan di semua jenjang jenis pendidikan yang melanggar ketentuan pasal 12
ayat (1a) baik perorangan maupun kelompok diancam dengan pidana kurungan paling
lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.0000,- (satu milyar).
Adanya
sangsi hukuman inilah kira-kira yang menjadi alasan bagi pihak pengelola
pendidikan Kristen/Katolik menolak RUU Sisdiknas tersebut. Sebab pada ketika
tidak dikaitkan dengan ancaman hukum seperti Undang-undang no. 2 tahun 1989
tidak menimbulkan permasalahan. Hal ini mengindikasikan politik kristenisasi
melalui pendidikan secara terang-terangan telah terjadi di Indonesia. Perlu
diingat bahwa memeluk agama yang ia yakini (bukan dipaksa) merupakan hak
individu masing-masing dan sudah diatur oleh Undang-undang 1945.
C. Kesimpulan
Campur
tangan pemerintah terhadap pendidikan cukup besar dengan segala kebijakan untuk
meratakan pendidikan ke seluruh masyarakat. Pendidikan dan pemerintah dapat
diistilahkan dengan sebuah sistem yang bias lepas dari pemerintah. Jangan
sampai kebijakan-kebijakan pada zaman kolonial Belanda dan Jepang dalam bidang
pendidikan masih dijalankan oleh pemerintah kita.
Untuk
itu, diharapkan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan di
bidang pendidikan dengan arif dan bijaksana demi tercapainya tujuan pendidikan
yang niatkan oleh pemerintah dan masyarakat.
Daftar Pustaka
Hawi, Akmal. 2008. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Palembang.
Rafah Press.
Nasution, S. 2001. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta.
Bumi Aksara.
Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan
Nasional. Jakarta. Rineka Cipta.
Zuhairini. 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta.
Bumi Aksara.
Niswah, Choirun. 2010. Sejarah Pendidikan Islam (Timur
Tengah dan Indonesia). Palembang. Rafah Press.
Mustafa, H.A. dan Abdul Aly. Sejarah Pendidikan Islam
di Indonesia. Bandung. Pustaka Setia.
Sunanto, Musyrifah. 2010. Sejarah Peradaban Islam
Indonesia. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Arifin, M. 2000. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan
Umum). Jakarta. Bumi Aksara.
Undang-undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional).
2011. Jakarta. Sinar Grafika.
Izin share Jeng... Sukron
BalasHapusIzin copy ya mba'... syukron katsir
BalasHapus