PEMIKIRAN
PENDIDIKAN PESANTREN TRADISIONAL
K.H. HASYIM
ASY’ARI
Oleh : Padjrin
El-Raiz
Mahasiswa PAI 04 Jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Tarbiyah
IAIN Raden Fatah Palembang
Abstrak : Pesantren merupakan “Bapak”
pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren tradisional dalam sejarahnya tidak
hanya berkontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa, melainkan berkontribusi
juga dalam mengusir para penjajah untuk merebut kemerdekaan. Pesantren
merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat
tradisional dan berciri khusus, baik sistem pendidikan, sistem belajar maupun
tujuan serta fungsinya. Seiring dengan berjalannya waktu, pesantren tradisional
mengalami pengembangan dengan tetap memelihara karakteristiknya. Usaha
pengembangan tersebut, tidak terlepas dari peranan pendiri berbagai lembaga
pendidikan Islam sejak dahulu sampai sekarang serta partisipasi dari berbagai
pihak yang terkait. Di antara pendiri yang berjasa adalah K.H. Hasyim Asy’ari.
Beliau menuangkan pemikirannya di berbagai bidang seperti politik, pendidikan
pesantren (tujuan, kurikulum dan metode pendidikan), akhlak, kebijakan, dan
organisasi kemasyarakatan (Nahdlatul Ulama).
Kata Kunci : Pendidikan, Pesantren
Tradisional, K.H. Hasyim Asy’ari
Pendahuluan
Pondok
pesantren yang merupakan “Bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, didirikan
karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman, hal ini bisa dilihat dari
perjalanan historisnya, bahwa sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran
kewajiban dakwah islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran
Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama dan da’i (Hasbullah : 1999, 40).
Pesantren pada awal perjalanannya digunakan sebagai basis dakwah dan
budaya-budaya Islam klasik. Di samping sebagai basis dakwah, pesantren juga
dijadikan sebagai basis mencetak kader-kader ulama dan dai sebagai pengantar pesan
dakwah kepada umat manusia.
Sebagai
suatu lembaga pendidikan Islam, pesantren dari sudut historis kultural dapat
dikatakan sebagai “training center” yang otomatis menjadi “cultural
central” Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat,
setidak-tidaknya oleh masyarakat Islam sendiri yang secara “defacto”
tidak dapat diabaikan oleh pemerintah (Hasbullah : 1999, 40). Pesantren berubah
dari pusat pendidikan menjadi pusat budaya dikarenakan dalam pendidikan
pesantren tidak mengenal sistem kasta (tingkatan ekonomi) berbeda dengan sistem
pendidikan yang dikelola oleh penjajah, sehingga apabila nama besar sebuah
pesantren tersiar dari mulut ke mulut maka berbondong-bondong masyarakat
sekitar bahkan luar daerah memasukkan anak mereka untuk dididik menjadi orang
yang alim. Dengan bercampurnya masyarakat di sekitar dan luar daerah secara
tidak langsung terjadinya kontak budaya dengan keragaman budaya masing-masing.
Pada
masa penjajahan kolonial Belanda, yaitu sekitar abad ke-18-an, nama pesantren
sebagai lembaga pendidikan rakyat terasa sangat berbobot terutama dalam bidang
penyiaran Islam. Kelahiran pesantren baru, selalu diawali dengan cerita perang
nilai antara pesantren yang akan berdiri dengan masyarakat sekitarnya, dan
diakhiri dengan kemenangan pihak pesantren, sehingga pesantren dapat diterima
untuk hidup di masyarakat, dan kemudian menjadi panutan bagi masyarakat
sekitarnya dalam bidang kehidupan moral (Hasbullah : 1999, 42).
Kehadiran
pesantren di tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi
juga sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial keagamaan. Dengan sifatnya yang
lentur (fleksibel), sejak awal kehadirannya, pesantren mampu mengadaptasikan
diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Sehingga mendapat
kepercayaan dari masyarakat untuk mendidik anak-anak mereka.
Zamaksyari
Dhofier (1982, 44-60) menjelaskan lima elemen dasar lahirnya pesantren di
Indonesia yaitu kiai, pondok, masjid, santri, dan kitab-kitab klasik. Kiai
sebagai cikal bakal berdirinya pesantren biasanya tinggal di tempat pemukiman
baru yang cukup luas. Karena terpanggil untuk berdakwah mereka mendirikan
masjid yang cukup sederhana. Jama’ah semakin ramai dan yang tempat tinggalnya
jauh mereka ingin menetap bersama kiai. Dan kemudiaan dibuat beberapa pondok
(pondok sebagai tempat tinggal) bahkan asrama khusus agar tidak mengganggu
ketenangan beribadah di masjid. Dengan bertempat di masjid, kiai mengajar para
santri dengan materi kitab Islam klasik. Ini berarti bahwa suatu lembaga
pengajian yang telah berkembang hingga memiliki kelima elemen tersebut, akan
berubah statusnya menjadi pesantren.
Pesantren
merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat
tradisional dan berciri khusus, baik sistem pendidikan, sistem belajar maupun
tujuan serta fungsinya. Saat ini jumlah pesantren di Indonesia ada sekitar
7.000 buah dengan santri sekitar 10 juta orang dan jumlah tenaga pengajar
sekita 150 ribu orang (Akmal Hawi, 2008, 93). Melihat data tersebut, pendidikan
pesantren dianggap strategis dalam pembangunan bangsa Indonesia jika dikelola
dengan baik. Senada dengan hal itu, Ahmad Malik Fajar (1999, 3), menyatakan
bahwa pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam yang sejak
awal berdirinya telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya mencerdaskan
bangsa dan juga telah memberikan andilnya yang besar dalam pembinaan dan
pengembangan kehidupan umat Islam di Indonesia. Pesantren dengan karakteristik khususnya mampu melahirkan ulama/pemikir besar di
negeri ini seperti Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Abdurrahman Wahid, dan
lainnya.
Mengenai
peranan dan keberadaan pesantren di Indonesia, Jalaluddin (2000, 1-2)
menegaskan bahwa, upaya menyampaikan nilai-nilai agama Islam kepada manusia
diperlukan suatu wadah yang tepat sebagai sarana untuk mengembangkannya. Wadah
yang dimaksud adalah lembaga madrasah diniyah dan pondok pesantren.
Sebab hanya ada dua lembaga pendidikan itulah kurikulum pendidikan agama Islam
dilaksanakan secara utuh. Dengan demikian, pesantren memiliki kontribusi bagi
negeri ini dalam kemerdekaan Indonesia dan bidang pendidikan.
Pesantren
tradisional hingga saat ini masih terpelihara keberadaannya dengan tetap
memegang peranan mendidik akhlak. Pesantren tradisional saat ini mulai bergerak
ke arah pengembangan untuk memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat dengan
karakteristik khususnya. Salah satu pesantren tradisional yang mengalami
pengembangan dengan tetap memelihara tradisionalnya adalah pesantren yang
didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari yaitu pesantren Tebuireng. Pesantren
Tebuireng menganut salah satu kaidah ushul fiqh yaitu memelihara tradisi
lama itu baik dan mengambil tradisi baru itu lebih baik.
Pesantren
Tebuireng banyak mengalami pembaharuan baik di bidang manajemen, kurikulum, dan
metode pendidikan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan
mencetak ulama/da’i yang mampu bersosialisasi dengan zaman yang selalu
berubah-ubah. Pembaharuan tersebut tidak terlepas dari sumbangan pemikiran K.H.
Hasyim Asy’ari yang fleksibel.
Riwayat Hidup K.H. Hasyim
Asy’ari
K.H.
Hasyim Asy’ari dilahirkan pada 14 Februari 1871, di Pesantren Gedang, Desa
Tambakrejo, sekitar dua kilometer ke arah utara Kota Jombang, Jawa Timur.
Ayahnya, Asy’ari adalah pendiri Pesantren Keras di Jombang, sementara kakeknya,
Kiai Usman adalah kiai terkenal dan pendiri Pesantren Gedang yang didirikan
pada akhir abad ke-19. Selain itu, Moyangnya, Kiai Sihah adalah pendiri
Pesantren Tambakberas, Jombang (Ronald Alan : 2004, 164). Ayah K.H. Hasyim
Asy’ari sebelumnya merupakan santri terpandai di Pesantren Kiai Usman. Ilmu dan
akhlaknya sangat mengagumkan sang kiai sehingga ia dikawinkan dengan anaknya.
Ibu K.H. Hasyim Asy’ari merupakan anak pertama dari tiga saudara laki-laki dan
dua perempuan: Muhammad, Leler, Fadil, dan Nyonya Arif. Ayah K.H. Hasyim
Asy’ari berasal dari Tingkir dan keturunan Abdul Wahid dari Tingkir. Dipercayai
bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tingkir, dan raja Hindu
Majapahit, Brawijaya VI. Jadi, K.H. Hasyim Asy’ari juga dipercayai merupakan
keturunan dari keluarga bangsawan (Lathiful Khuluq : 2008, 16-17).
Pada
usia 15 tahun, Hasyim remaja meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana
memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo
Jombang, lalu Pesantren Wonokoyo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan
Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim
melanjutkan menuntut ilmu ke Pesantren Kedemangan, Bangkalan, Madura, di bawah
asuhan K.H. Kholil yang dikenal sangat alim. Setelah lima tahun menuntut ilmu
di Bangkalan, pada 1891, Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di Pesantren
Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub yang kelak menjadi
mertuanya. Ia menimba ilmu di Pesantren Siwalan selama lima tahun.
Semangatnya
dalam menuntut ilmu membawa dirinya sampai ke tanah suci, Makkah. Selama di
Makkah, ia berguru kepada sejumlah ulama besar, di antaranya Syeikh Syuaib bin
Abdurrahman, Syaikh Mahfudzh Al-Tirmasi (Tremas, Pacitan), Syaikh Khatib
Al-Minangkabawi, Syaikh Ahmad Amin Al-Athar, Syaikh Ibrahim Arab dan lain-lain.
Pada saat ia tinggal di Makkah ini, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di
Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syaikh Nawawi
Al-Bantani. Selama di Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari
berbagai negara. Di antaranya ialah Syaikh Al-Maimani (mufti di Bombay, India),
Syaikh Umar Hamdan (ahli hadits di Makkah), dan lain-lain.
K.H.
Hasyim Asy’ari dikenal sebagai seorang pendidik sejati. Hampir seumur hidupnya,
beliau mengabdikan diri pada lembaga pendidikan, terutama di Ponpes Tebuireng,
Jombang. Awalnya, pada 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang
dalang di Dukuh Tebuireng. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang
terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal. Dari bangunan kecil inilah emberio
Pesantren Tebuireng dimulai. Bagian depan dari bangunan bambu ini digunakan
oleh Kiai Hasyim sebagai tempat mengajar dan shalat berjamaah, sedangkan bagian
belakang dijadikan tempat tinggal. Pada awal berdiri, jumlah santri belajar
baru delapan orang, dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 orang (Syamsul
Kurniawan : 2011, 208). Ini menunjukkan bahwa sifat sabar dan ulet yang
diwariskan oleh keluarganya benar-benar melekat dalam karakternya. Dengan
karakter yang ia milikinya, menjadikan ia dikagumi dan dipuji oleh kalangan
masyarakat Islam khususnya Indonesia.
Pemikirannya
dalam pendidikan pesantren tradisional diantaranya tertuang dalam karyanya yang
monumental yaitu kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaj ila
al-Muta’alim di Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al-Mu’allim di Maqamat Ta’limi.
Kitab ini membahas masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan
akhlak (etika) (Syamsul : 2011, 207-211). Mengingat bahwa ruh dari pendidikan
Islam adalah pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak merupakan tujuan awal dari
tujuan pendidikan Islam.
Mujib (2004, 319), bahwa K.H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang
piawai dan gerakan dan pemikiran kependidikan. Beliau dikategorikan sebagai
generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.
Bahkan Kiai Kholil (gurunya) memuji akan ketinggian ilmunya dan Kiai Kholil
seringkali mengikuti pengajiannya.
Pendidikan Pesantren Tradisional
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan keterampilan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas : 2011, 3). Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (KBBI : 1994, 232). Dengan
demikian, pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar dan
terencana untuk mengubah sikap dan tata laku dengan memiliki kekuatan
keterampilan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak
mulia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Perkataan
Pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan per di depan dan
akhiran an berarti tempat tinggal tinggal para santri. Johns
berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru
mengaji. Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah shastri
yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu,
atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu (Zamakhsyari : 1982, 18).
Dengan demikian, pesantren merupakan tempat tinggal para santri yang belajar
untuk memahami ajaran agama Islam.
Sedangkan
kata tradisional
berasal dari kata dasar “tradisi” yang berarti tatanan, budaya atau adat yang
hidup dalam sebuah komunitas masyarakat. Kata tradisional tersebut juga selalu
merujuk pada peninggalan kebudayaan klasik/kuno (Amin Haedari: 2004, 13). Menurut
istilah, pesantren tradisional adalah sistem pendidikan Islam yang
bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa-bahasa
Arab, dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik (Depag RI: 2003, 32).
Dengan
demikian, pendidikan pesantren tradisional adalah suatu tempat yang digunakan
untuk melaksanakan pendidikan yang terencana dalam usaha mengubah sikap dan
tata laku seseorang ke arah yang positif melalui sistem klasik/lama seperti
penggunaan kitab-kitab klasik dalam pembelajarannya. Pendidikan pesantren
tradisional khususnya di Indonesia saat ini menjadi koleksi budaya Indonesia
yang memiliki kontribusi bagi bangsa dan umat Islam.
Pemikiran Pendidikan Pesantren
Tradisional K.H. Hasyim Asy’ari
1.
Manajemen Pendidikan
Sudah
menjadi common sense bahwa pesantren lekat denan figur kiai. Kiai dalam
pesantren merupakan figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan
perubahan. Kepemimpinan yang sentralistik pada individu yang bersandar pada
kharisma serta hubungan yang bersifat paternalistik. Kebanyakan pesantren
menganut pola “serba-mono”: mono-manajemen dan mono-administrasi sehingga tidak
ada delegasi kewenangan ke unit-unit kerja yang ada dalam organisasi (Shulton:
2004, 14-15).
Dalam
tradisi pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofier, kiai merupakan elemen yang
paling esensial dari suatu pesantren. Kiai merupakan sumber mutlak dari
kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan
pesantren. Senada dengan hal, Abdurrahman Wahid mengemukakan bahwa kiai
merupakan yang tertinggi dari hirarki kekuasaan intern di pesantren dan
memiliki kedudukan ganda sebagai pengasuh dan sekaligus pemilik pesantren (Nunu:
2010, 1-2).
Dalam
pendidikan pesantren khususnya tradisional manajemen pendidikannya dikelola
oleh kiai atau pendiri itu sendiri. Di mulai dari kebijakan, kurikulum, materi
pelajaran, metode pembelajaran, dan lain sebagainya. Sedangkan bagi pembantunya
apabila hendak menerapkan kebijakan harus mendapat izin dari sang kiai. K.H.
Hasyim Asy’ari dalam mengelola pesantrennya menganut dua gaya kepemimpinan
sebagai berikut :
Pertama, paternalistik yaitu gaya
kepemimpinan kebapakan atau mengutamakan kharisma yang ada dalam pribadinya.
Gaya kepemimpinan ini terlihat dari rasa tanggung jawabnya untuk melindungi
komponen yang ada di dalam pesantren seperti keluarga, ustadz, santri, dan
masyarakat. Kharisma yang dimiliki oleh K.H. Hasyim Asy’ari berupa ketinggian
ilmunya, pengalaman mendidik, akhlak, dan tasawuf. Dengan kharismanya membuat
para pembantunya selalu mematuhi apa yang menjadi kebijakannya serta tidak
seorangpun yang berani membantahnya. Hal ini wajar dikarenakan kontribusi/peran
yang amat besar bagi kemajuan pesantren. Apapun kebijakannya selalu
memperhatikan dari segi agamis dan sosioligis sehingga dapat diterima secara
rasionalistik bagi para pembantunya.
Kedua, demokratis yaitu suatu gaya
kepemimpinan yang menganggap dirinya bagian dari kelompok dan bersama-sama
dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya
tujuan bersama. Gaya kepemimpinan ini antonim dari gaya kepemimpinan otoriter.
K.H. Hasyim Asy’ari menerapkan gaya kepemimpinan ini dalam memajukan
pesantrennya, beliau menganggap bahwa untuk memajukan pesantren tidak dapat
dilakukan sendiri. Gaya ini terlihat ketika ia mengabulkan permintaan salah satu
menantunya Kiai Ali Ma’shum untuk memasukkan kurikulum umum seperti bahasa
Indonesia, matematika, Sejarah, Geografi di Madrasah Syafi’iyah (Zuhairini:
2008, 203). Dan juga mengabulkan permintaan anaknya Wahid Hasyim untuk
memasukkan metode tutorial sebagai metode pembelajaran.
Gaya
kepemimpinan yang diterapkan K.H. Hasyim Asy’ari dalam mengelola manajemen
pesantrennya patut untuk dicontoh oleh kepala sekolah dalam mengelola
sekolah/madrasah yang ia pimpin supaya menjadi sekolah yang berkualitas. Dan
juga patut untuk dicontoh oleh guru dalam mengelola pembelajaran di kelas
supaya dapat mencetak anak didiknya yang sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional.
2.
Tujuan Pendidikan
Belajar
menurut Hasyim Asy'ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah Swt. yang
mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya
belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai
Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan (Syamsul: 2011, 213).
Pendidikan
hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu
mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma
Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju
dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai
dengan nilai dan norma-norma Islam. Dengan nilai-nilai Islam tersebut dapat
membawa seseorang mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.
Dari
pemikiran Hadratus Syekh tersebut, memberikan pesan kepada para pendidik
sekarang dalam mengajar, jangan hanya memberikan ilmu pengetahuan saja
melainkan hal yang utama adalah menanamkan nilai-nilai Islam kepada anak
didiknya agar anak didik dapat membentengi dirinya dari pengaruh negatif
perubahan zaman. Dengan pengendalian tersebut, anak didik akan mendapatkan
kebahagian baik di dunia maupun di akhirat.
3.
Signifikansi
Pendidikan
Tujuan
utama ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya. Hal yang demikian dimaksudkan
agar ilmu yang dimilikinya menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan
di akhirat kelak. Mengingat begitu pentingnya maka syariat mewajibkan untuk
menuntutnya dengan memberikan pahala yang besar. Pada bagian lain juga
dijelaskan bahwa ilmu merupakan sifat yang menjadikan jelas identitas
pemiliknya (Syamsul: 2011, 212). Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seluruh
umat Islam di dunia. Dengan ilmu dapat membawa kebahagian di dunia maupun di
akhirat kelak. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda :
طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيْضَةً عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
Artinya
: Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan muslim
perempuan. (HR. Ibnu Majah)
K.H. Hasyim Asy’ari, terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut
ilmu, Pertama, bagi murid, hendaknya ia berniat suci menuntut ilmu,
jangan sekali-sekali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkan atau
menyepelekannya. Kedua, bagi guru, dalam mengajarkan ilmu hendaknya ia
meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata-mata. Di
samping itu, yang diajarkan hendaknya sesuai dengan tindakan-tindakan yang
diperbuat (Syamsul: 2011, 212-213). Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda :
إِنَّمَا الْأَعْمَا لُ
بِا لنِّيَّاتِ. وَ إنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى
Artinya
: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap
orang (dibalas) berdasarkan apa yang diniatkannya.(HR. Bukhori Muslim)
Secara
spesifik, K.H. Hasyim Asy’ari menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan oleh
guru dan siswa : Pertama, bagi guru, guru harus memiliki karakteristik
yaitu professional; kasih
sayang; berwibawa; takut pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusyu’; menjaga diri
dari hal hal yang menurunkan martabat; pandai mengajar; berwawasan luas; dan mengamalkan
ajaran Al- Qur’an dan Al-Hadist (Hasyim Asy’ari: 1415, 55-85).
Kedua, bagi
siswa, siswa harus mengetahui tugas dan tanggung jawab ketika belajar (membersihkan
hati; membersihkan niat; pandai mengatur waktu; menyederhanakan makan dan minum
dan barhati-hati; menyedikitkan waktu; menghindari kemalasan; dan meninggalkan
hal-hal yang kurang berfaedah), etika terhadap guru (memperhatikan guru,
mengikuti jejak guru; memuliakan guru; bersabar; duduk dengan rapi; berbicara
sopan; dan tidak menyela guru), etika terhadap pelajaran (memperhatikan ilmu
yang bersifat pokok; berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf ulama;
bercita-cita tinggi; senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu; menanyakan apa
yang tidak dipahami; selalu membawa
catatan; dan belajar secara kontinu, dan menanamkan rasa antusias belajar)
(Hasyim Asy’ari: 1415, 24-45).
Pemikiran
K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan pesantren lebih menekankan pada
pendidikan etika (akhlak). Hal ini terlihat dari hal-hal yang harus
diperhatikan oleh guru dan murid dalam pembelajaran. Ini merupakan sebagai
contoh bahwa K.H. Hasyim Asy’ari sebagai seorang pendidik sejati. Pemikiran
yang ditawarkan oleh beliau bersumber dari pengalaman sebagai seorang pendidik
dan ilmu tasawuf.
4.
Metode Pembelajaran
Sistem
belajar dan metode belajar yang diterapkan dalam Pesantren Tebuireng pada awal
perkembangannya, mengakomodasi sistem pendidikan Islam klasik (sebelum Madrasah
Nizhamiyah di Baghdad) yakni sistem individual atau halaqah, sistem
individual yang diterapkan melalui metode wetonan dan sorogan,
dan metode hafalan merupakan istilah-istilah lain dari metode yang
diterapkan pada Islam klasik. Subyek yang amat menentukan dalam aplikasi
pendidikan yang diterapkan adalah tenaga pengajar. Adapun metode-metode yang
digunakan di pesantren yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari adalah sebagai
berikut :
a.
Metode Wetonan atau Bandongan
Metode
wetonan atau bandongan merupakan metode utama pengajaran di
lingkungan pesantren. Dalam sistem ini sekelompok santri membentuk halaqah. Di
sana guru membaca, menerjemahkan dan menerangkan, dan sekaligus mengulas kitab
kuning yang dipelajari. Para santri mendengarkan bacaan dan uraian guru sambil
memperhatikan kitabnya sendiri dan membuat catatan penting. Biasanya catatan
itu meliputi arti kata-kata yang sulit dan keterangan tentang hal-hal yang
dianggap pelik (Niswah: 2010, 214-215).
Bentuk
penerapan dari metode ini, K.H. Hasyim Asy’ari membaca kitab kepada anak
didiknya seperti kitab Fath al-Qorib, kiai membaca, menerjemahkan, dan
menerangkan baik dari segi isi maupun tata bahasa (nahwu shorof). Sedangkan
santri hanya mendengarkan dan membuat catatan yang penting (kata-kata sulit
atau keterangan yang dianggap penting. Biasanya metode ini diikuti 50 santri
hingga 500 santri. Metode ini sangat efektif, bila seorang santri telah
melewati sistem sorogan (individual).
b.
Metode Sorogan
Metode
sorogan merupakan cara belajar individual yang biasanya digunakan dalam
belajar kitab berbahasa Arab. Pada pengajian dengan sistem ini guru membacakan
beberapa baris dari kitab yang dipelajari kemudian menerjemahkannya ke dalam
bahasa Jawa (Melayu dan lainnya). Pada gilirannya si santri mengulangi bacaan
tersebut dan menerjemahkannya kata demi kata seperti yang dilakukan oleh
gurunya. Melalui cara ini, diharapkan murid sekaligus dapat mengetahui arti dan
fungsi setiap kata dalam kalimat Bahasa Arab yang dibacanya. Pelajaran tambahan
hanya akan diberikan bila si santri telah menguasai dengan baik bahan pelajaran
terdahulu. Biasanya seorang guru yang mengajar dengan sistem ini hanya
membimbing murid, tiga atau empat orang saja (Niswah: 2010, 214). Sistem sorogan ini
menuntut kesabaran, ketaatan, dan disiplin pribadi dari murid. Sistem ini
terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang
bercita-cita menjadi seorang alim.
Bentuk
penerapan metode ini, kiai membaca, mengartikan satu-persatu kalimat bahasa
Arab, kemudian menerjemahkannya. Selanjutnya kiai memerintahkan kepada salah
satu santri untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan sang kiai.
Dari metode ini, ada tiga hal yang dilakukan oleh santri yaitu (1) membaca
kalimat bahasa Arab; (2) mengartikan satu persatu kalimat bahasa Arab; dan (3)
memahami makna dari kalimat yang dibacakan. Metode ini akan efektif, apabila
murid sabar, rajin, taat, dan disiplin sedangkan guru mengawasi, menilai dan
membimbing secara maksimal serta memperhatikan kemampuan setiap anak didik.
c.
Metode Hafalan
Hafalan,
metode yang diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya dipakai untuk
menghafalkan kitab-kitab tertentu, semisal Alfiyah Ibnu Malik atau juga sering
juga dipakai untuk menghafalkan Al-Qur’an, baik surat-surat pendek maupun
secara keseluruhan. Metode ini cukup relevan untuk diberikan kepada murid-murid
usia anak-anak, tingkat dasar, dan tingkat menengah. Pada usia diatas itu,
metode hafalan sebaiknya dikurangi sedikit demi sedikit, dan lebih tepat
digunakan untuk rumus-rumus dan kaidah-kaidah (Amien: 2004, 17).
Dalam
metode hafalan para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan tertentu
dalam jangka waktu tertentu. Hafalan yang dimiliki santri ini kemudian di
“setorkan” dihadapan kiai atau ustadznya secara priodik atau insidental
tergantung kepada petunjuk sebelumnya. Dengan demikian, titik tekan pada
pembelajaran ini adalah santri mampu mengucapkan atau melafalkan sekumpulan materi
pembelajaran secara lancar dengan tanpa melihat atau membaca teks.
d.
Metode Hiwar atau Musyawarah
Metode
hiwar atau musyawarah hampir sama dengan metode diskusi yang umum
kita kenal selama ini. Bedanya metode hiwar ini dilaksanakan dalam rangka
pendalaman atau pengayaan materi yang sudah ada di santri. Yang menjadi ciri
khas dari hiwar ini, santri dan guru biasanya terlibat dalam sebuah forum
perdebatan untuk memecahkan masalah yang ada dalam kitab-kitab yang sedang di
santri (Amien: 2004, 18).
Metode
ini hanya digunakan oleh Hadratus Syekh bagi santri-santri senior dalam kelas
musyawarah yang dibuatnya. Dalam kelas musyawarah, kiai menyeleksi dengan ketat
bagi santri yang ingin memasuki kelas tersebut. Diharapkan dengan metode ini,
dapat menciptakan ulama-ulama yang handal dari segi keilmuan.
5.
Materi Pendidikan
Materi
pendidikan Islam yang diajarkan di Pesantren Tebuireng yang ia pimpin adalah
Bahasa Arab, Membaca Al-Qur,an, Nahwu dan Shorof, Tafsir Jalalain,
Tafsir Ibnu Katsir, fiqh (Kitab Fathul Qorib), Hadits (Kitab
Shohih Bukhori dan Shohih Muslim), ilmu tasawuf (Kitab Ihya Ulumuddin),
muroja’ah Al-Qur’an, sejarah rasulullah (Kitab al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi
‘Iyadh), fiqh mazhab Imam Syafi’i (Kitab al-Muhaddzab, Ilmu Hadits (Kitab Al-Muwattha’).
Sedangkan materi pendidikan umum yang
diajarkan di Madrasah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng yaitu Bahasa Indonesia (Melayu),
Matematika, Geografi, Bahasa Belanda dan Sejarah (Zuhairini, 2004, 203).
Pesantren Tebuireng tidak hanya
menyelenggarakan pendidikan agama saja tetapi menyelenggarakan pendidikan umum
juga. Pelajaran umum ini digunakan untuk kepentingan santri ketika keluar dari
pesantren. Pelajaran ini sangat bermanfaat setelah sepuluh tahun diterapkan,
karena pada saat itu Jepang mewajibkan menulis surat menggunakan bahasa
Indonesia. Secara tidak langsung hanya keluaran dari Tebuireng saja yang dapat
melakukan hal tersebut. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh santri untuk
mendapatkan kemerdekaan dari para penjajah.
Penutup
Pendidikan pesantren
tradisional yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari merupakan pesantren yang
mengalami pengembangan ke arah peningkatan kualitas yang mampu beradaptasi
dengan semua lapisan masyarakat. Pengembangan tersebut terlihat dari usaha kiai
mendirikan madrasah di pesantrennya yaitu Madrasah Salafiyah Syafi’iyah dan
juga menambah kurikulum pendidikan umum di pesantrennya yaitu bahasa Indonesia,
Geografi, Matematika, dan Sejarah. Kebijakan ini pada awalnya mendapat
pertentangan dari kalangan ulama-ulama tradisional di Jawa, namun dengan
kharisma beliau, pertentangan tersebut merendah.
Kebijakan
tersebut dilakukan tidak lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebijakan
tersebut mendapatkan hasil setelah 10 tahun berlalu yaitu pada zaman Jepang.
Pemikiran
pendidikan pesantren tradisional K.H. Hasyim Asy’ari mencakup manajemen
pendidikan, tujuan pendidikan, signifikansi pendidikan, metode pendidikan, dan
materi pendidikan.
K.H. Hasyim
Asy’ari menggunakan sistem mono-manajemen dalam mengelola pesantrennya dengan
gaya kepemimpinan paternalistik dan demokratis. Paternalistik merupakan gaya
kepemimpinan yang menonjolkan kebapakan/kharisma. Sedangkan demokratis
merupakan gaya kepemimpinan yang menyatakan bahwa untuk menuju kemajuan tidak
dapat dilakukan dengan sendiri melainkan butuh akan bantuan orang lain.
Tujuan
pendidikan adalah untuk mendapatkan ridho Allah Swt. mengilangkan kebodohan,
dan mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam untuk mendapatkan
kebahagian di dunia dan akhirat.
Signifikansi
pendidikan merupakan kedudukan ilmu pengetahuan. Betapa pentingnya ilmu
pengetahuan bagi umat manusia sehingga Nabi Muhammad mewajibkan untuk menuntut
ilmu dan Allah Swt. menganjarkan pahala dan derajat tinggi bagi orang yang
berilmu. Hal yang terpenting dalam ilmu pengetahuan adalah niat karena Allah
Swt. dan mengamalkannya. Dalam menuntut ilmu pengetahuan, ada beberapa yang harus
diperhatikan oleh guru dan anak didik, yaitu akhlak ketika belajar, akhlak
kepada guru, dan akhlak kepada pelajaran. Begitu juga guru harus profesional,
berwibawa, dan lain sebagainya.
Metode
pendidikan yang biasa digunakan di pesantren tradisional K.H. Hasyim Asy’ari
ialah metode sorogan, bandongan/wetonan, hafalan, musyawarah. Metode
ini tetap bertahan seiring dengan berkembangnya metode pendidikan yang lebih
mengaktifkan siswa.
Meteri
pendidikan yang ditawarkan K.H. Hasyim Asy’ari terbagi menjadi dua, yaitu
materi pendidikan Islam (Tasawuf, Hadits, Tafsir, Qur’an, Akhlak, Tauhid, dan
sejenisnya) dan materi pendidikan umum (Sejarah, Bahasa Indonesia, Matematika,
dan Geografi). Materi pendidikan umum dimasukkan ketika beliau mendirikan
Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Hal ini diperlukan untuk menjawab tantangan
zaman yaitu ulama pintar ilmu agama dan ilmu umum.
Apa yang
ditawarkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalam hal pendidikan pesantren tradisional
untuk menjawab tantangan zaman yang selalu berkembang ke arah modern. Dan juga
menafikan anggapan sebagian masyarakat bahwa pesantren sebagai tempat
pendidikan “kolot” dan kaku. Serta menafikan anggapan sebagian masyarakat bahwa
pesantren sama halnya dengan “kerajaan kecil”. Wallahu A’lam Bi Asshowab …
According to Stanford Medical, It's really the one and ONLY reason women in this country get to live 10 years longer and weigh an average of 19 KG lighter than us.
BalasHapus(And realistically, it really has NOTHING to do with genetics or some hard exercise and EVERYTHING to around "how" they are eating.)
P.S, What I said is "HOW", not "WHAT"...
Tap this link to determine if this brief quiz can help you find out your real weight loss potential