Psikologi Agama

by 1/01/2013 09:06:00 AM 0 komentar


PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi terhadap Perkembangan Jiwa Keagamaan
            Sikap keagamaan merupakan suatu keadaaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan tersebut oleh adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif, dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif. Jadi, sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan dalam dri seseorang.[1]
            Sikap keagamaan dapat dilihat dari sikap yang ditampilkan dari  unsur kognitif, afektif, dan konasi. Baiknya sikap keagamaan seseorang tergantung dari keserasian antar ketiga unsur tersebut dalam jiwa seseorang. Begitu juga sebaliknya, jika tidak serasi maka akan mengalami gangguan atau ketimpangan dalam perilaku keagamaannya seperti ateis, konversi agama, fanatisme dan lain-lain.
            Sikap keagamaan terbentuk dari oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Perkembangan jiwa keagamaan selain ditentukan oleh faktor ekstern juga ditentukan intern seseorang. Seperti halnya aspek kejiwaan lainnya, maka para ahli psikologi agama mengemukakan berbagai teori berdasarkan pendekatan masing-masing. Tetapi, secara garis besarnya faktor-faktor yang ikut mempengaruhi terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian, dan kondisi kejiwaan seseorang.[2] Dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.        Faktor Intern
a.      Hereditas
            Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun menurun, melahirkan terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif, dan konasi. Tetapi, dalam penelitian yang dilakukan oleh Margareth Mead menemukan terhadap suku Mundugumor dan Arapesh bahwa terdapat hubungan antara cara menyusui dengan sikap bayi. Bayi yang disusukan secara tergesa-gesa (Arapesh) menampilkan sosok yang agresif dan yang disusukan secara wajar dan tenang (Mundugumor) akan menampilkan sikap yang toleran di masa remajanya.
b.      Tingkat Usia
            Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami remaja ini menimbulkan konflik kejiwaan, yang cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama. Bahkan, menurut Starbuck memang benar bahwa pada usia adolesensi sebagai rentang umur tipikal terjadinya konversi agama. Hal ini juga menurut Ernest Harsm bahwa perkembangan agama pada anak-anak ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi pula oleh perkembangan berpikir. Ternyata, anak yang menginjak usia berpikir kritis lebih kritis pula dalam memahami ajaran agama. Begitu juga, di saat remaja mereka menginjak kematangan seksual, pengaruh itu pun menyertai perkembangan jiwa keagamaan mereka. Menurut penelitian Dr. Kinsey pada tahun 1950-an, 90% remaja Amerika melakukan masturbasi, homoseksua, dan onani.
c.       Kepribadian
            Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan inilah yang dapat membentuk kepribadian. Adanya kedua unsur tersebut menimbulkan konsep tipologi dan karakter. Tipologi berasal dari bawaan dan karakter berasal dari pengaruh lingkugan.
            Dilihat dari pandangan tipologis, kepribadian manusia tidak dapat diubah karena terbentuknya komposisi yang terdapat dalam tubuh. Sebaliknya pandangan karakter, kepribadian manusia dapat berubah dan tergantung dari pengaruh lingkungan masing-masing.
            Berangkat dari pendekatan tipologis dan karakterologis, maka melihat ada unsur-unsur yang bersifat tetap dan unsur yang dapat berubah membentuk struktur kepribadian manusia. Unsur-unsur yang bersifat tetap berasal dari bawaan, sedangkan yang dapat beruabh adalah karakter. Namun demikian, karakter pun menurut Erich Fromm adalah relatif bersifat permanen.
d.      Kondisi Kejiwaan
            Kondisi kejiwaan ini terkait denga kepribadian sebagai faktor intern. Menurut Sigmund Freud dengan pendekatan psikodinamik menunjukkan gangguan kejiwaan ditimbukan oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal.
            Gejala-gejala kejiwaan yang abnormal ini bersumber dari kondisi saraf, kejiwaan, dan kepribadian. Kondisi kejiwaan yang bersumber dari saraf akan menimbulkan gejala kecemasan saraf, absesi, dan kompulasi serta amnesia. Kondisi kejiwaan yang disebabkan oleh kejiwaan umumnya menyebabkan seseorang kehilangan kontak hubungan dengan dunia nyata. Gejala ini ditemui pada penderita shizoprenia yang akan mengisolasi diri dari kehidupan sosial, paranoia, maniac, serta infantile autism (berperilaku seperti anak-anak).
            Dengan demikian, faktor intern yang dapat mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan adalah 1) hereditas, yakni sifat bawaan yang berasal dari kedua orang tuanya. Sifat bawaan tersebut dapat berupa sifat, potensi, bakat, dan penyakit. Nabi Muhammad menganjurkan untuk memilih pasangan hidup. Hal ini mengindikasikan bahwa pasangan hidupnya akan berdampak pada keturunannya. Seperti pasangannya dari keluarga baik, kemungkinan akan melahirkan anak yang baik; 2) tingkat usia, yakni umur juga ikut mempengaruhinya. Anak yang kritis dalam berpikir akan ikut kritis juga dalam hal memahami ajaran agama. Begitu juga pada saat remaja, mulai mendapatkan konflik dalam kejiwaannya yang dapat menimbulkan konversi agama; 3) kepribadian, yakni kepribadian dapat berupa sifat bawaan yang tidak dapat berubah (pandangan tipologis) dan kepribadian dapat berubah tergantung dengan pengaruh lingkungannya; dan 4) kondisi kejiwaan, yakni gejala-gejala kejiwaan bersumber dari kondisi saraf, kejiwaan, dan kepribadian. Misalnya bersumber dari saraf akan menimbulkan kecemasan saraf dan amnesia.
2.        Faktor Ekstern
            Potensi yang dimiliki manusia ini secara umum disebut fitrah keagamaan, yaitu berupa kecenderungan untuk bertauhid. Sebagai potensi maka perlu adanya pengaruh yang berasal dari luar diri manusia. Pengaruh tersebut dapat berupa bimbingan, pembinaan, latihan, pendidikan, dan sebagainya, yang secara umumnya disebut sosialisasi.
            Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan di mana seseorang itu hidup. Umunya lingkungan dibagi menjadi tiga yaitu lingkungn keluarga, lingkungan institusi, dan lingkungan masyarakat.[3]dapat dijelaskan sebagai berikut :


a.      Lingkungan Keluarga
            Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Anggota-anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya. Bagi anak, keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenalnya. Dengan demikian, kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi perkembangan jiwa keagamaan anak.
            Sigmund Freud dengan konsep father image (citra kebapaan) menyatakan bahwa perkembangan jiwa keagamaan anak dipengaruhi oleh citra anak terhadap bapaknya. Jika seorang bapak menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik, maka anak akan cenderung mengidentifikasi sikap dan tingkah laku bapak pada dirinya. Begitu juga sebaliknya, jika bapak menampilkan sikap dan tingkah laku buruk akan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak.
b.      Lingkungan Institusional
            Lingkungan institusional dapat berupa institusi formal seperti sekolah dan institusi non-formal seperti organisasi.
            Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh tersebut terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu 1) kurikulum dan anak; 2) hubungan guru dan murid; 3) hubungan antaranak. Ketiga kelompok itu secara umum tersirat unsur-unsur yang menopang pembentukan tersebut seperti ketekunan, disiplin, kejujuran, simpati, sosiabilitas, toleransi, keteladan, sabar, dan keadilan. Perlakuan dan pembiasaan bagi pembentukan sidat-sifat seperti itu umumnya menjad bagian dari program pendidikan di sekolah.
c.       Lingkungan Masyarakat
            Boleh dikatakan setelah menginjak usia sekolah, sebagian besar waktu jaganya dihabiskan di sekolah dan masyarakat.. berbeda dengan situasi di rumah dan sekolah, umumnya pergaulan di masyarakat kurang menekankan pada disiplin atau aturan yang harus dipatuhi secara ketat.
            Meskipun tampaknya longgar, namun kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan nilai-nilai yang didukung warganya. Karena itu, setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan norma dan nilai-nilai yang ada. Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat memiliki suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhi bersama.
            Dengan demikian, faktor ektern yang dapat mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan, yaitu : 1) lingkungan keluarga, orang tua yang menampilkan sikap dan tingkah laku yang baik akan mempengaruhi karakter anak. Misalnya dalam keluarga mengajarkan kedisplinan maka anaknya akan memiliki kepribadian yang disiplin; 2) lingkungan institusional, yaitu lingkungan sekolah dan organisasi, dalam sekolah terjadi hubungan anak dengan kurikulum, guru, dan antarteman. Ketiga tersebut dapat membentuk kepribadian anak seperti tekun, dispilin, toleransi, dan lain sebagainya.
B. Gangguan dan Penyimpangan Tingkah Laku Keagamaan
a.      Fanatisme dan Ketaatan
            Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu kepada pendapat Erich Fromm bahwa karakter terbina melalui asimilasi dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek tersebut.
            Suatu tradisi membuka peluang bagi warganya untuk berhubungan dengan warga lainnya (sosialisasi). Selain itu juga, terjadi hubungan dengan benda-benda yang mendukung berjalannya tradisi keagamaan tersebut (asimilasi), seperti institusi keagamaan dan sejenisnya. Hubungan ini menurut Erich Fromm berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang.
            David Riesman melihat bahwa tradisi cultural sering dijadikan penentu di mana seseorang harus melakukan apa yang telah dilakukan nenek moyang. Dalam menyikapi tradisi keagamaan juga tak jarang munculnya kecenderungan seperti itu. Jika kecenderungan taklid keagamaan tersebut dipengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka terbuka peluang bagi pembenaran spesifik. Kondisi ini akan menjuruskan kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab, ketaatan merupakan upaya untuk menampilkan arahan dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.[4]
            Fanatisme ditimbulkan dari keterkaitan emosional dengan tradisi keagamaan yang dipahaminya benar. Jika seorang telah fanatic terhadap agamanya, maka ia akan melakukan segala hal pembenaran dari pemahamannya terhadap agama. Sikap fanatic akan berdampak tidak harmonisnya dalam sistem sosial karena jika ada orang yang menentangnya, maka ia akan melakukan hal yang dapat membahayakan jiwa manusia, seperti kekerasan antaragama, teroris, dan lain sebagainya. Berbeda dengan ketaatan, karena taat merupakan menunjukkan sikap yang diarahkan oleh agamanya, mengahayati, dan mengamalkan ajaran agama.
b.      Konflik Agama
            Konflik agama sebagai perilaku keagamaan yang menyimpang dapat terjadi karena adanya pengekangan atau pamasungan nilai-nilai agama itu sendiri. Maksudnya mereka menggunakan label agama sebagai alat pembenaran tindakan yang ia lakukannya. Padahal apa yang ia lakukan sesungguhnya bertentangan dengan nilai-niali ajaran agama itu sendiri dan terkadang bukan dari bisikan hatinya. Konflik agama disebabkan oleh :
1)      Pengetahuan agama yang dangkal
Ajaran agama berisi tentang nilai-nilai ajaran moral yang luhur. Tapi, tidaklah semua penganut agama memahami kesemua nilai tersebut. Dalam keterabatas informasi mereka memerlukan informasi tambahan dari orang yang ahli yang dianggap lebih mengetahui.
Kondisi ini sering terjadi pada masyarakat awam. Sehingga dengan kondisi ini memberi peluang bagi masuknya pengaruh negative. Dengan itu dapat menimbulkan konflik.
2)      Fanatisme
Orang yang taat terhadap agamanya berusaha semaksimal mungkin untuk mengamalkan ajaran agamanya. Menjadi penganut agama yang taat merupakan perintah agama. Namun, ketaatan beragama di masyarakat cenderung dipahami sebagai “pembenaran” yang berlebihan. Dengan sikap tersebut akan membawakan kepada sikap fanatisme, hingga bahwa hanya agamanya sebagai agama yang paling benar. Dan agama lain dianggap salah. Sehingga ia akan mengkritik agama lain yang dianggap salah. Hal ini akan berpotensi timbulnya konflik antaragama sepeti di Ambon.
3)      Agama sebagi doktrin
Pemahaman agama yang kaku akan berkisar pada hal iman/kafir, pahala/dosa, halal/haram, dan surga/neraka. Pemahaman ini akan mengurangi sikap toleran, yang dapat menggangu hubungan antar sesama umat agama. Padahal dalam agama Islam tidak ada pemaksaan dalam beragama. Seperti kristen itu kafir.
4)      Symbol-simbol
Pada agama tertentu  menganggap suatu tempat atau benda dianggap sebagai symbol suci dan perlu dipertahankan. Sebaliknya bagi agama lain tidaklah demikian. Karena pemahaman dan penghargaan terhadap unsur dan symbol keagamaan menjadi sangat penting. Karena terkadang penyalahgunaan dari symbol-simbol dapat menimbulkan anggapan sebagai pelecehan terhadap agama yang dipeluknya, seperti karikatur Nabi Muhammad di Swiss dan sapi bagi agama hindu.
5)      Tokoh agama
Tokoh agama menempati fungsi dan memiliki  peran sentral dalam masyarakatnya. Maka tokoh agama menempati posisi tinggi, dihormati, dan didukung sepenuhnya, karena itu apa yang difatwakannya harus ditaati. Seperti Usama bin Laden tokoh teroris di dunia yang melahirkan pengikutnya yang membenarkan bom bunuh diri.
6)      Sejarah
Sejarah merupakan suatu kejadian dan peristiwa masa lalu yang menyangkut semua aspek kehidupan. Dalam sebuah sejarah terjadilah pembagian golongan yaitu golongan lama dan golongan baru. Golongan baru menganggap yang lama disebut belum beriman, animisme, atau lebih ekstrim di sebut kafir.[5]
c.       Atheisme dan Agnotisisme
            Atheis berasal dari bahasa Yunani yang berate tiada Tuhan, penolakan akan adanya Tuhan baikk teori maupun praktis. Theo Huijbers mengatakan atheis terbagi menjadi dua, pertama atheis teoritis yang sifat menyerang agama, seakan-akan agama adalah musuh yang harus dimusnahkan. Kedua atheis praktis, agama disangkal keberadaannya secara praktis, menjalani kehidupan ini seakan-akan tidak ada Tuhan, sama halnya dengan orang tidak peduli tentang adanya Tuhan dan akhirnya mengambilk sikap acuh tak acuh.
            Menurut Theo Huijebers, atheis dikarenakan :
1)      Adanya kejahatan di dunia, hal ini bertolak belakang dengan adanya Tuhan yang memiliki sifat baik. Seandainya Tuhan itu baik maka Tuhan tidak mengizinkan kejahatan itu terjadi.
2)      Alam berjalan menurut naturnya sendiri. Alam bukan diatur oleh Tuhan.
3)      Manusia memiliki kedaulatan. Tanpa adanya Tuhan, manusia sudah mampu dan mempunyai kekuatan untuk menentukan hidupnya.
            Selanjutnya, sebab manusia menjadi atheis adalah :
1)      Rasa agama yang tidak dibina dan dikembangkan.
2)      Terjadi penyelewengan karena proses sejarah.
3)      Menutup kebenaran karena faktor-faktor tertentu.
4)      Ragu dalam berpikir.
5)      Lingkungan.
6)      Ulah orang-orang yang beragama sendiri.[6]
            Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa atheis bukan fitrah manusia, tetapi dipengaruhi oleh berbagai faktor baik kondisi, lingkungan, serta pengalaman hidup seseorang. Misalnya kecewa terhadap agama yang ia anut, ketidakadilan Tuhan. Dalam Islam hal ini bertentangan dengan fitrahnya karena pada dasarnya manusia itu butuh akan agama, bukan agama butuh dengan kita. Orang-orang yang atheis di dunia ini adalah Komunis, Maotsedong, Karel Mark, Karl Marx, Hitler, Liberasisme, Kapitalisme, Materialisme, dan Sekuler. Agama sebagai fitrah manusia tersirat dalam firman Allah :
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ
            Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Rum:30)
            Fitrah Allah maksudnya adalah ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
            Menurut Syahminan, orang-orang atheis akan mendapat akibat dari perbuatan tersebut :
1)      Kelaparan rohani.
2)      Kekeacaun berpikir dan bertindak.
3)      Menjatuhkan martabat manusia.
4)      Kehidupan manusia akan diliputi kesengsaraan dan malapetaka.
5)      Dibenci dan dilaknat Tuhan.
6)      Masuk neraka.[7]
            Dari penjelasan di atas, bahwa atheis merupakan tingkah laku yang menyimpang dalam agama. Atheis merupakan peniadaan Tuhan dalam hidupnya. Atheis disebabkan oleh kondisi, lingkungan, dan pengalaman dalah hidupnya. Orang atheis kelihatan dari luar bahagia, namun dilihat dari sisi kejiwaan mengalami kesengsaraan. Jiwanya akan mengalami krisis rohani dan haus akan kebahagian. Seperti halnya  Fir’aun ketika di tengah-tengah laut merah, ia mengakui adanya Allah Swt dan keEsaan-Nya. Seatheis-atheis orang, pasti di suatu saat akan mengakui akan keberadaan Tuhan.
            Menurut Robert Thouless, agnotisisme adalah nama keyakinan yang menyatakan bahwa keberadaan segala sesuatu yang ada di luar dunia materi seperti Tuhan tidak diketahui atau dibuktikan secara rasional. Istilah ini disebut skeptisisme. Ketidaktahuan manusia tentang Tuhan dan hal-hal yang bersifat inmateri karena mereka mengukurnya dengan rasional, hal ini berlanjut dengan rasa ragu-ragu yang akhirnya menimbulkan sikap agnotisisme atau ketidakpedulian terhadap agama.
            Orang-orang yang bersikap agnotisisme adalah orang yang selalu mengagung-agungkan akal pikiran, yang dianggapnya berbagai satu-satunya alat untuk mencari kebenaran. Akibatnya bila sesuatu yang tidak sesuai dengan akal dianggap salah atau tidak ada. Hal tersebut menjadikan orang itu salah dalam mengetahui tentang agama, karena agama diketahui dengan diawali dengan keyakinan dan bukan diawali dengan keragu-raguan.[8]
            Sikap agnotisisme merupakan awal dari atheis. Karena di awali dari ragu-ragu dan tidak yakin maka akhirnya meniadakan Tuhan. Agnotisisme merupakan sikap yang mengagungkan  akal, sehingga suatu materi yang tidak sesuai dan tidak masuk akal maka dianggap tidak ada. Sesuatu hal yang tidak rasional, baginya tidak dipedulikan seperti halnya adanya Tuhan.
c.       Konversi Agama
            Konversi menurut etimologi berasal dari kata concersio yang berarti tobat, berubah, pindah. Selanjutnya kata tersebut dari bahasa Inggris conversion yang berarti berubah dari suatu keadaan, yaitu dari suatu agama ke agama lain. Manurut Makx Heirich mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan dimana seseorang atau kelompok berubah, pindah, masuk kepercayaan atau agama orang lain yang berlawanan dengan agama sebelumnya.[9]
            Dengan demikian konversi agama adalah suatu perubahan kepercayaan dan ketaatan terhadap suatu agama yang dianut oleh seseorang, meninggalkan kepercayaan terhadap suatu agama dan memeluk agama lain. Misalnya dari agama Islam ke Kristen atau sebaliknya dari agama Kristen ke Islam. Hal ini dikenal dalam Islam adalah murtad yaitu keluar dari agama Islam.
            Menurut para ahli agama mengatakan bahwa yang menajdi faktor penyebab orang melakukan konversi agama sebagai berikut :
1)      Menurut para ahli agama, penyebabnya adalah petunjuk Ilahi. Karena faktor supernatural berperan dominan. Tidak ada yang dapat menghalanginya.
2)      Menurut para ahli sosioligi, penyebabnya adalah pergaulan hubungan antarpribadi baik bersifat agama maupun non-agama; kebiasaan mengahadiri upacara keagamaan; anjuran dari orang-orang terdekat; pimpinan agama; perkumpulan hobi; dan kekuasaan pemimpin.
3)      Menurut para ahli psikologi, penyebabnya dari faktor intern (pribadi) dan ekstern (lingkungan).[10]
4)      Dalam sebuat situs, penyebabnya adalah kemiskinan.[11]
            Menurut Zakiah Daradjar, proses terjadinya konversi agama melalui lima tahapan yaitu pertama, masa tenang yaitu masa dimana agama belum mempengaruhi sikapnya. Kedua, masa ketidaktenangan yaitu masa dimana agama mulai mempengaruhinya. Ketiga, masa konversi yaitu masa dimana konflik batin mulai reda sehingga melakukan konversi. Keempat, masa tenang dan tentram yaitu masa dimana batin puas akan keputusannya. Kelima, masa ekspresi konversi yaitu masa mengungkapkan sikap menerima terhadap agama barunya.[12]
            Dengan demikian, faktor penyebab dari konversi agama adalah petunjuk ilahi dan faktor intern (pribadi) serta faktor ekstern (lingkungan). Namun, belakangan ini ada segelintir orang yang melakukan konversi agama karena diberi mie instan yang disebabkan oleh faktor kemiskinan. Hal ini banyak terjadi ketika ada bencana seperti tsunami, kebakaran, dan bencana lainnya. Hal ini terjadi di Aceh ketika dilanda Tsunami pada tahun 2002. Di Aceh oleh salah satu majalah Islam mengungkapkan bahwa banyak rakyat Aceh melakukan konversi agama yang dilakukan oleh para relawan asing.
            Konversi agama melalui proses yang cukup panjang dimulai dari acuh-acuh terhadap agama kemudian agama mulai mempengaruhi batinya kemudian melakukan konversi selanjutnya puas terhadap keputusannya dan akhirnya menunjukkan sikap menerima terhadap agama yang baru dianutnya.

KESIMPULAN

            Seorang pasti akan mengalami perkembangan  jiwa keagamaan yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor intern berupa hereditas, tingkat usia, kondisi kejiwaan, dan kepribadian. Selanjutnya dipengaruhi oleh faktor ekstern berupa lingkungan keluarga, institusi, dan masyarakat. Perkembangan jiwa keagamaan dapat merujuk kepada hal yang positif, juga kepada hal yang negative.
            Ketika seorang mengalami perkembangan jiwa keagamaan tentunya pada prosesnya akan mengamali gangguan dan hambatan jika tidak dipahami dengan baik. Gangguan tersebut berupa atheis yaitu meniadakan agama dan Tuhan, agnotisisme yaitu suatu hal yang tidak masuk akan atau rasional dianggap tidak ada seperti halnya Tuhan, konversi agama yaitu perpindahan dari agama lama ke agama baru dan fanatisme yaitu sifat yang menganggap paling benar ajarannya dan sering melakukan kekerasan dalam pembenaran keyakinannya. Hal ini akan berdampak pada konflik antaragama. Yang jelas bahwa setiap manusia akan mengalami perkembangan jiwa keagamaan, namun dalam perkembangan tersebut ada hal yang menjadi gangguan dan terjadinya perilaku yang menyimpang.















DAFTAR PUSTAKA

            Al-Qur’an dan terjemahannya. Diponegoro, 2006

            Jalaluddin. 2010. Psikologi Agama. Raja Grafindo : Jakarta.

            Ramayulis. Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mulia, 2002.

            Wahab, Rohmalina. 2010. Psikologi Agama. Palembang : Grafika Telindo.



Padjrin Dha Niess

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar