Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Islam di Indonesia : Zaman Belanda, Kemerdekaan dan Reformasi

by 1/01/2013 08:52:00 AM 2 komentar


A.      Pendahuluan
            Campur tangan atau pengaruh pemerintah/penguasa terhadap pendidikan cukup besar dengan segala kebijakan yang ditempuh demi suksesnya pendidikan seluruh warga negara. Namun di zaman penjajahan, kebijakan-kebijakan pendidikannya tentu disesuaikan/diarahkan pula dengan niat politik yang mereka lakukan, seperti politik “pecah belah” (devide et impera atau devided and imperial), politik etis, Hakko Ichiu (Jepang), dan sebagainya. Tetapi di zaman kemerdekaan, pendidikan kita mulai dibangkitkan kembali melalui pendidikan yang bersifat patriotisme, kesadaran nasional sampai dengan pendidikan nasional Pancasila.[1]
            Pendidikan sebagai suatu sistem tidak bisa dilepaskan dari kondisi politik. Antara politik dan pendidikan Islam terjalin hubungan yang erat. Berubah-ubahnya kebijakan politik dapat mempengaruhi pelaksanaan pendidikan Islam diantaranya madrasah. Oleh karena itu, agar para penguasa untuk berhati-hati dalam kebijakan politiknya yang akan berakibat pada berubahnya pelaksanaan pendidikan. Hal ini terjadi pada zaman Dinasti Abbasiyah yang mengalami masa kejayaan pendidikan Islam dikarenakan kebijakan politik. Dan pendidikan Islam mengalami kemunduran disebabkan oleh kebijakan politik. Dengan demikian kebijakan politik dan pendidikan tidak dapat dipisahkan.
            Sebagai contoh, kebijakan kolonialisme Belanda dalam pendidikan diikutsertakan dengan politik pecah-belanya dan politik etis (balas budi). Pada zaman Belanda, pendidikan hanya didapatkan oleh anak-anak pejabat seperti gubernur, bupati, dan lurah. Sedangkan anak pribumi sulit untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan selalu dicurigai. Namun, ada sebagian dari orang Belanda untuk melakukan politik balas budi kepada rakyat pribumi dikarenakan mereka banyak memperoleh kekayaan negeri yang dijajahnya. Dengan politik ini, rakyat pribumi dari golongan bawah mulai mendapatkan pendidikan.
            Kebijakan politik pendidikan juga terjadi di Indonesia yang dimulai dari zaman Hindu Budha serta kerajaan Islam, zaman kolonialisme (Belanda, Portugis, Inggris, dan sebagainya), Jepang, zaman kemerdekaan (orde lama dan orde baru), sampai zaman reformasi (hingga sekarang). Melihat alur yang cukup panjang mengenai kondisi pendidikan Indonesia, mengindikasikan berubah-ubahnya kebijakan dalam hal pendidikan. kebijakan-kebijakan politik dalam dunia pendidikan akan dibahasan dalam makalah ini.
B.       Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Islam di Indonesia : Zaman  Belanda, Kemerdekaan dan Reformasi
1.        Zaman Belanda
a.        Zaman VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie)
            Orang Belanda datang ke Indonesia bukan untuk menjajah melainkan berdagang. Mereka termotivasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, sekalipun harus mengarung lautan yang berbahaya untuk mengambil rempah-rempah dari Indonesia. Namun pedagang itu merasa perlunya tempat permanen di daratan untuk menjadi tempat berlabuhnya kapal. Kantor dagang itu kemudian di diperkuat dan dipersenjatai dan menjadi benteng yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah sekitarnya.[2] Akhirnya dengan peperangan dengan intensitas yang tinggi, Indonesia jatuh di bawah pemerintahan Belanda.
            Kebijakan pendidikan VOC adalah melanjutkan kebijakan yang telah dimulai oleh orang-orang Portugis, terutama berdasarkan agama Kristen Protestan. Meskipun pada abad ke-17 dan 18 di negeri Belanda khususnya dan di Eropa umumnya, pengaruh gereja terhadap pendidikan sangat memegang peranan, tetapi di Indonesia VOC lebih berkuasa daripada gereja, walaupun kegiatan utama mereka adalah berdagang rempah-rempah. Dengan demikianlah dapatlah dibayangkan bahwa kebijakan-kebijakan pendidikan VOC, tentu saja berdasarkan prinsip komersial atau bisnis atau perhitungan-perhitungan untung dan rugi dan hukum-hukum ekonomi/perdagangan. Selanjutnya pada Tahun 1617 didirikan sekolah yang di Batavia (Jakarta) bersifat pendidikan dasar yang bertujuan untuk memberikan pendidikan budi pekerti bercorak agama adapun sifat dari pendidikan pada waktu itu dimaksudkan sebagai pengisian tenaga kerja terutama keluarga VOC, dimaksudkan sebagai tangan-tangan VOC di dalam melakukan pemerintahannya.
            Hal senada diungkapkan oleh DR. Kartini Kartono, dia mengemukakan bahwa pengajaran di masa colonial tidak bertujuan membangun angkatan muda yang bersedia mengabdikan diri pada tanah air sendiri, tetapi bertujuan :
1)      Menanamkan nilai-nilai masyarakat penjajah.
2)      Memupuk kesediaan orang-orang muda pribumi untuk dinas menjadi pegawai pemerintah dan serdadu kolonial.[3]
            Menurut H.A.R. Tilaar, bahwa pendidikan bagi orang-orang pribumi yang beragama Islam tidak menjadi soal, karena kelanjutan sistem-sistem langgar, pesantren dan madrasah berjalan terus. Memang apabila kita berbicara mengenai pendidikan Islam maka kita akan membicarakan mengenai pesantren dan madrasah. Sebenarnya pemikiran tentang pendidikan tak pernah dilakukan oleh penguasa VOC, secara serius, tetapi baru setelah keadaan komersial dan finansial perusahaannya menurun pada akhir abad ke-18, tokoh-tokoh VOC mulai memperhatikan bidang pendidikan di daerah kekuasaannya. Pada umumnya guru-gurunya adalah warga negara Kristen yang harus mendapat lisensi dan penguasa kompeni agar kebijakan VOC tak terlanggar, sekolah yang berkembang pada waktu itu adalah sekolah dasar, sekolah latin, seminarium theologicum, sekolah Cina dan akademi pelayaran.[4]
            Pendidikan pesantren memang sudah ada sebelum VOC menjajah Indonesia. Pendidikan ini terus berkembang hingga sekarang. Intinya kebijakan pemerintah VOC terhadap pendidikan di negeri jajahannya harus berdasarkan hukum ekonomi atau finansial. Sekolah didirikan untuk kepentingan keluarga dan finansial mereka. Guru-guru yang mengajar di sekolah VOC harus mendapatkan lisensi dari mereka agar kebijakan-kebijakan mereka tetap berlaku di negeri jajahan tentunya kekayaan negeri kita tetap mereka dapatkan untuk memajukan perusahaan mereka.
            Dengan demikian, kebijakan pendidikan pada zaman VOC lebih kepada segi komersial dengan artian menguntungkan pihak VOC itu sendiri. Mereka mendidik anak-anak VOC untuk melanjutkan hegemoni di tanah jajahan dan rakyat pribumi disekolahkan untuk membantu kemajuan perusahaan di bawah naungan VOC.
b.        Zaman Pemerintahan Hindia Belanda
            Kemunduran perusahaan VOC pada akhir abad ke-18 menyebabkan VOC tidak sanggup dan dapat berfungsi lagi sehingga menyerahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Bersamaan dengan peristiwa tersebut terjadi pulalah perubahan pandangan prinsip pendidikan. prinsip-prinsip pendidikan mereka sebagai berikut :
1)      Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu.
2)      Pendidikan diarahkan agar para tamatannya menjadi pencari kerja, terutama demi kepentingan kaum penjajah.
3)      Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat.
4)      Pendidikan diarahkan untuk golongan elite social (penjilat penjajah) Belanda.
5)      Dasar pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada pengetahuan dan kebudayaan Barat.[5]
            Kedatangan bangsa Barat di satu pihak memang telah membawa kemajuan teknologi, tetapi kemajuan teknologi tersebut bukan dinikmati penduduk pribumi, tujuannya hanyalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya. Begitu pula halnya dengan pendidikan, mereka telah memperkenalkan sistem dan metodologi baru yang lebih efektif, namun semua itu dilakukan sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang dapat membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan yang murah sekali dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga-tenaga dari Barat.
            Dalam kenyataannya Belanda sebagai penjajah benar-benar menggeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memeras tenaga, sumber alam dan sebagainya. Sementara di lain pihak diadakan semacam pembodohan terhadap penduduk pribumi. Karena itu Belanda sebagai penjajah lain, seperti Inggris misalnya. Inggris dapat memajukan negeri jajahannya seperti Singapura, Hongkong, Malaysia, sedangkan Belanda tidak mampu.
            Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan, itu adalah westenisasi dan kristenisasi yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajahan Belanda di Indonesia yang berlangsung selama 3,5 abad. Bagi rakyat Indonesia memandang orang Barat tersebut melainkan sebagai penjajah dan penakluk, kaum imperalis, tidak peduli mereka Katolik atau Nasrani. Dalam dada penjajah kuatnya ajaran dari politikus dan licik Machiavelli, yang antara lain :
1)      Agama sangat diperlukan bagi pemerintah penjajah.
2)      Agama tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukkan rakyat.
3)      Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan harus dibawa untuk memecah belah dan agar mereka berbuat untuk mencari bantuan kepada pemerintah.
4)      Janji dengan rakyat tak perlu ditetapi jika merugikan.
5)      Tujuan dapat menghalalkan segala cara.[6]
            Kebijakan Belanda dalam mengatur jalannya pendidikan tentu saja dimaksudkan untuk kepentingan mereka sendiri terutama untuk kepentingan agama Kristen. Hal ini terlihat, ketika Van Den Bosch menjadi Gubernur Jenderal Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijakan sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah, sedangkan departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu, sementara di setiap keresidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
            Inisiatif untuk mendirikan lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi penduduk pribumi adalah ketika Van Den Capellen menjaga Gubernur Jenderal Jakarta. Dari dalam surat edarannya adalah menggambarkan tujuan dari didirikannya Sekolah Dasar pada zaman itu. Politik yang dijalankan pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebenarnya didasari oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu Kristen dan kolonialisme. Sehingga dengan begitu mereka menerapkan berbagai peraturan dan kebijakan, di antaranya :
1)      Pada tahun 1882, pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesterraden. Dari badan ini inilah pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru yang isinya bahwa orang memberikan pengajaran atau pengajian agama Islam harus terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintah Belanda.
2)      Tahun 1925 keluar lagi peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kiai) boleh memberikan pelajaran mengaji terkecuali telah mendapatkan semacam rekomendasi atau persetujuan pemerintah Belanda.
3)      Kemudian pada tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah atau sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oelh pemerintah Belanda yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie).[7]
            Selain itu pemerintah Belanda menerapkan kebijakan yang disaran oleh Snouck Hurgronje yaitu :
1)      Menyarankan kepada pemerintah colonial Belanda agar netral terhadap agama yakni tidak ikut campur tangan dan tidak memihak kepada salah satu agama yang ada, menurutnya fanatisme dalam Islam itu akan luntur sedikit demi sedikit melalui proses pendidikan secara evolusi.
2)      Pemerintah Belanda diharapkan dapat membendung masuk Pan Islamisme yang sedang berkembang di Timur Tenggah, dengan jalan menghalangi masuknya buku-buku atau brosur lain dari luar ke wilayah Indonesia, mengawasi kontak langsung dan tidak langsung tokoh-tokoh Islam dengan tokoh luar, serta membatasi dan mengawasi orang-orang yang pergi ke Mekkah, dan bahkan kalau memungkinkan melarangnya. Karena dikhawatirkan pengalaman yang didapatkan di luar akan dibawa ke Indonesia dan mempengaruhi kelanggengan kekuasaan kolonial.[8]
            Dengan demikian, kebijakan-kebijakan pendidikan Islam pada zaman Belanda bertujuan untuk meningkatkan hasil jajahannya, memasukkan budaya-budaya Barat ke Indonesia, dan misi kristenisasi. Walaupun kebijakan-kebijakan Belanda yang sangat ketat dimulai dari pengawasan, tekanan, menghancurkan madrasah dan pesantren untuk melumpuhkan pendidikan Islam di Indonesia. Namun keadaan tersebut berbalik arah dari tujuannya. Bahkan dengan kebijakan-kebijakan yang ketat dapat membangkitkan rasa ingin merdeka dan mengusir penjajah dari tanah jajahannya seperti bersikap non-kooperatif dengan Belanda dan sebagainya.
2.        Zaman Kemerdekaan
            Setelah proklamasi dikumandangkan, sebagaimana dikemukakan terdahulu perubahan-perubahan di berbagai aspek telah terjadi, tidak hanya dalam bidang pemerintahan, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa Indonesia. Di tengah berkobarnya revolusi fisik pemerintah Indonesia tetap membina pendidikan agama. Pembinaan pendidikan agama tersebut secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen Agama.[9] Pemerintah dan bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan mewarisi sistem pendidikan yang bersifat dualistis, yaitu:
1)      Sistem pendidikan dan pengajaran modern yang bercorak sekuler atau sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum, yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda.
2)      Sistem pendidikan Islam, yang tumbuh dan berkembang di kalangan umat Islam sendiri, yaitu sistem pendidikan dan pengajaran yang berlangsung di surau/langgar, masjid dan pesantren serta madrasah yang bersifat tradisional dan bercorak keagamaan semata-mata.
            Pendidikan agama Islam untuk sekolah umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (sekolah rakyat: sekolah dasar). Keputusan tersebut belum berjalan dengan efektif dikarenakan kondisi keamanan belum mantap. Pada tahun 1950 ketika kedaulatan telah pulih maka rencana tersebut disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari Depag dan Mr. Hadi dari Depdikbud. Hasilnya antara lain :
1)      Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR.
2)      Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya Kalimantan dan Sumatera) maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV SR.
3)      Di sekolah SLTP dan SLTA (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
4)      Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapatkan izin dari orang tua/wali.
5)      Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama dan materi pendidikan agama di tanggung oleh Depag.[10]
            Selanjutnya pendidikan agama diatur secara khusus dalam UU Nomor 4 tahun 1950 pada Bab XII pasal 20, yaitu :
1)      Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anak-anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
2)      Cara penyelenggaraan agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
            Sementara itu pada peraturan bersama Menteri P & K dan Menteri Agama Nomor : 1432/Kab, 20 Januari 1951 (P&K), Nomor K 1.1652/Tanggal 20 Januari 1951 (Agama) diatur tentang pendidikan agama di sekolah-sekolah, yaitu :
Pasal 1
Di tiap-tiap sekolah rendah dan sekolah lanjutan (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama
Pasal 2
a.       Di sekolah-sekolah rendah pendidikan agama dimulai dari kelas IV; banyaknya 2 jam dalam satu minggu.
b.      Di lingkungan yang istimewa pendidikan agama dapat dimulai pada kelas 1 dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan. Tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu, dengan ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum bagi sekolah-sekolah rendah di lain lingkungan.
Pasal 3
Di sekolah-sekolah SLTP dan SLTA, baik sekolah umum maupun sekolah-sekolah kejuruan, diberi pendidikan agama 2 jam dalam tiap-tiap minggu.
Pasal 4
a.       Pendidikan agam diberikan menurut agama murid masing-masing.
b.      Pendidikan agam baru diberikan pada suatu kelas mempunyai murid sekurang-kurangnya 10 orang yang menganut suatu macam agama.
c.       Murid dalam suatu kelas yang memeluk agama lain daripada agama yang sedang diajarkan pada suatu waktu, boleh meninggalkan kelasnya selama pelajaran itu.[11]
Masa Peralihan Orde Lama ke Orde Baru
            Dalam siding pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut : Bab II pasal 2 ayat 3 dinyatakan bahwa : Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai universitas. Pada tahun 1966 MPRS telah bersidang. Dalam keputusannya dibidang pendidikan agama telah mengalami kemajuan yaitu pendidikan agama menjadi hak wajib dari Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi Umum negeri di seluruh Indonesia.
            Dalam siding MPR yang menyusun GBHN tahun 1973 hingga sekarang, selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua jenjang pendidikan, bahkan pendidikan agama seudah dikembangkan sejak Taman Kanan-kanak.
            Dengan demikian, setelah merdeka, pendidikan Islam mulai mendapat kedudukan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional. Selain itu pendidikan agama di sekolah juga mendapat tempat yang teratur, seksama, dan penuh perhatian. Pendidikan Islam setahap demi setahap dimajukan. Istilah pesantren yang dulu hanya mengajar agama di surau dan menolak modernitas pada zaman kolonial, sudah mulai beradaptasi dengan tuntutan zaman. Bahkan, kini pesantren ikut mendirikan madrasah dan sekolah umum, sehingga pemuda Islam diberi banyak pilihan.[12] Pendidikan Islam juga secara institusional masuk dalam sistem pendidikan Islam, pendidikan agama Islam menjadi pelajaran wajib di sekolah milik pemerintah, sekolah-sekolah umum diberikan pendidikan agama selama 2 jam, serta ijazah lembaga pendidikan Islam seperti madrasah diseterakan dengan sekolah milik pemerintah.
3.        Zaman Reformasi
            Pendidikan agama Islam di negeri kita, adalah merupakan bagian dari Pendidikan Agama, dimana tujuan utamanya ialah membinan dan mendasari kehidupan anak didik dengan nilai-nilai agama dan sekaligus mengajarkan ilmu agama Islam, sehingga ia mampu mengamalkan syari’at Islam secara benar dan sesuai pengetahuan agama.[13] Untuk mengatur agar pendidikan berjalan dengan baik dan sesuai dengan hajat orang banyak, dan setelah melalui proses yang panjang dengan berbagai macam peraturan yang dikeluarkan, maka akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan memberlakukan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN).
            Adapun bunyi RUU Sisdiknas pasal 12 ayat (1a) versi DPR, maupun pasal 13 (1a) versi Pemerintah adalah sama. Dengan bunyi sebagai berikut :
            “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subjek dalam proses pendidikan yang berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.[14]
            Dari bunyi undang-undang tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan agama harus diajarkan di setiap satuan pendidikan dan diajarkan oleh orang yang seagama. Guru-guru tersebut harus disediakan oleh pemerintah dan lembaga pendidikan swasta.
            Selanjutnya, dari undang-undang ini menimbulkan permasalahan ketika perekrutan guru yang seagama dengan peserta didik terjadi di sekolah swasta yang dikelola oleh lembaga pendidikan non-Islam, sementara peserta didiknya terdiri dari orang-orang Islam. Dan kenyataannya hampir tidak pernah ditemukan pada sekolah Kristen/Katolik yang peserta didiknya terdapat orang-orang Islam, menyediakan guru agama yang beragama Islam.[15] Untuk memecahkan permasalahan tersebut, DPR mengusulkan sangsi bagi yang melanggar melalui pasal 57 ayat (3) RUU Sisdiknas (versi 3 Oktober 2002) yang berbunyi :
            “Penyelenggaraan pendidikan di semua jenjang jenis pendidikan yang melanggar ketentuan pasal 12 ayat (1a) baik perorangan maupun kelompok diancam dengan pidana kurungan paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.0000,- (satu milyar).
            Adanya sangsi hukuman inilah kira-kira yang menjadi alasan bagi pihak pengelola pendidikan Kristen/Katolik menolak RUU Sisdiknas tersebut. Sebab pada ketika tidak dikaitkan dengan ancaman hukum seperti Undang-undang no. 2 tahun 1989 tidak menimbulkan permasalahan. Hal ini mengindikasikan politik kristenisasi melalui pendidikan secara terang-terangan telah terjadi di Indonesia. Perlu diingat bahwa memeluk agama yang ia yakini (bukan dipaksa) merupakan hak individu masing-masing dan sudah diatur oleh Undang-undang 1945.
C. Kesimpulan
            Campur tangan pemerintah terhadap pendidikan cukup besar dengan segala kebijakan untuk meratakan pendidikan ke seluruh masyarakat. Pendidikan dan pemerintah dapat diistilahkan dengan sebuah sistem yang bias lepas dari pemerintah. Jangan sampai kebijakan-kebijakan pada zaman kolonial Belanda dan Jepang dalam bidang pendidikan masih dijalankan oleh pemerintah kita.
            Untuk itu, diharapkan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan dengan arif dan bijaksana demi tercapainya tujuan pendidikan yang niatkan oleh pemerintah dan masyarakat.


Daftar Pustaka
            Hawi, Akmal. 2008. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Palembang. Rafah Press.

            Nasution, S. 2001. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara.

            Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta. Rineka Cipta.

            Zuhairini. 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara.

            Niswah, Choirun. 2010. Sejarah Pendidikan Islam (Timur Tengah dan Indonesia). Palembang. Rafah Press.

            Mustafa, H.A. dan Abdul Aly. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung. Pustaka Setia.

            Sunanto, Musyrifah. 2010. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

            Arifin, M. 2000. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta. Bumi Aksara.

            Undang-undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). 2011. Jakarta. Sinar Grafika.


Padjrin Dha Niess

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

2 komentar: