Jurnal Pendidikan Islam

by 10/23/2013 09:03:00 PM 1 komentar

PEMIKIRAN PENDIDIKAN PESANTREN TRADISIONAL
K.H. HASYIM ASY’ARI
Oleh : Padjrin El-Raiz
Mahasiswa PAI 04 Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah
IAIN Raden Fatah Palembang

Abstrak : Pesantren merupakan “Bapak” pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren tradisional dalam sejarahnya tidak hanya berkontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa, melainkan berkontribusi juga dalam mengusir para penjajah untuk merebut kemerdekaan. Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat tradisional dan berciri khusus, baik sistem pendidikan, sistem belajar maupun tujuan serta fungsinya. Seiring dengan berjalannya waktu, pesantren tradisional mengalami pengembangan dengan tetap memelihara karakteristiknya. Usaha pengembangan tersebut, tidak terlepas dari peranan pendiri berbagai lembaga pendidikan Islam sejak dahulu sampai sekarang serta partisipasi dari berbagai pihak yang terkait. Di antara pendiri yang berjasa adalah K.H. Hasyim Asy’ari. Beliau menuangkan pemikirannya di berbagai bidang seperti politik, pendidikan pesantren (tujuan, kurikulum dan metode pendidikan), akhlak, kebijakan, dan organisasi kemasyarakatan (Nahdlatul Ulama).
Kata Kunci : Pendidikan, Pesantren Tradisional, K.H. Hasyim Asy’ari

Pendahuluan
Pondok pesantren yang merupakan “Bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman, hal ini bisa dilihat dari perjalanan historisnya, bahwa sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama dan da’i (Hasbullah : 1999, 40). Pesantren pada awal perjalanannya digunakan sebagai basis dakwah dan budaya-budaya Islam klasik. Di samping sebagai basis dakwah, pesantren juga dijadikan sebagai basis mencetak kader-kader ulama dan dai sebagai pengantar pesan dakwah kepada umat manusia.
Sebagai suatu lembaga pendidikan Islam, pesantren dari sudut historis kultural dapat dikatakan sebagai “training center” yang otomatis menjadi “cultural central” Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat, setidak-tidaknya oleh masyarakat Islam sendiri yang secara “defacto” tidak dapat diabaikan oleh pemerintah (Hasbullah : 1999, 40). Pesantren berubah dari pusat pendidikan menjadi pusat budaya dikarenakan dalam pendidikan pesantren tidak mengenal sistem kasta (tingkatan ekonomi) berbeda dengan sistem pendidikan yang dikelola oleh penjajah, sehingga apabila nama besar sebuah pesantren tersiar dari mulut ke mulut maka berbondong-bondong masyarakat sekitar bahkan luar daerah memasukkan anak mereka untuk dididik menjadi orang yang alim. Dengan bercampurnya masyarakat di sekitar dan luar daerah secara tidak langsung terjadinya kontak budaya dengan keragaman budaya masing-masing.
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, yaitu sekitar abad ke-18-an, nama pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat terasa sangat berbobot terutama dalam bidang penyiaran Islam. Kelahiran pesantren baru, selalu diawali dengan cerita perang nilai antara pesantren yang akan berdiri dengan masyarakat sekitarnya, dan diakhiri dengan kemenangan pihak pesantren, sehingga pesantren dapat diterima untuk hidup di masyarakat, dan kemudian menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya dalam bidang kehidupan moral (Hasbullah : 1999, 42).
Kehadiran pesantren di tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial keagamaan. Dengan sifatnya yang lentur (fleksibel), sejak awal kehadirannya, pesantren mampu mengadaptasikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk mendidik anak-anak mereka.
Zamaksyari Dhofier (1982, 44-60) menjelaskan lima elemen dasar lahirnya pesantren di Indonesia yaitu kiai, pondok, masjid, santri, dan kitab-kitab klasik. Kiai sebagai cikal bakal berdirinya pesantren biasanya tinggal di tempat pemukiman baru yang cukup luas. Karena terpanggil untuk berdakwah mereka mendirikan masjid yang cukup sederhana. Jama’ah semakin ramai dan yang tempat tinggalnya jauh mereka ingin menetap bersama kiai. Dan kemudiaan dibuat beberapa pondok (pondok sebagai tempat tinggal) bahkan asrama khusus agar tidak mengganggu ketenangan beribadah di masjid. Dengan bertempat di masjid, kiai mengajar para santri dengan materi kitab Islam klasik. Ini berarti bahwa suatu lembaga pengajian yang telah berkembang hingga memiliki kelima elemen tersebut, akan berubah statusnya menjadi pesantren.
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat tradisional dan berciri khusus, baik sistem pendidikan, sistem belajar maupun tujuan serta fungsinya. Saat ini jumlah pesantren di Indonesia ada sekitar 7.000 buah dengan santri sekitar 10 juta orang dan jumlah tenaga pengajar sekita 150 ribu orang (Akmal Hawi, 2008, 93). Melihat data tersebut, pendidikan pesantren dianggap strategis dalam pembangunan bangsa Indonesia jika dikelola dengan baik. Senada dengan hal itu, Ahmad Malik Fajar (1999, 3), menyatakan bahwa pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam yang sejak awal berdirinya telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya mencerdaskan bangsa dan juga telah memberikan andilnya yang besar dalam pembinaan dan pengembangan kehidupan umat Islam di Indonesia. Pesantren dengan karakteristik khususnya mampu melahirkan ulama/pemikir besar di negeri ini seperti Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Abdurrahman Wahid, dan lainnya.
Mengenai peranan dan keberadaan pesantren di Indonesia, Jalaluddin (2000, 1-2) menegaskan bahwa, upaya menyampaikan nilai-nilai agama Islam kepada manusia diperlukan suatu wadah yang tepat sebagai sarana untuk mengembangkannya. Wadah yang dimaksud adalah lembaga madrasah diniyah dan pondok pesantren. Sebab hanya ada dua lembaga pendidikan itulah kurikulum pendidikan agama Islam dilaksanakan secara utuh. Dengan demikian, pesantren memiliki kontribusi bagi negeri ini dalam kemerdekaan Indonesia dan bidang pendidikan.
Pesantren tradisional hingga saat ini masih terpelihara keberadaannya dengan tetap memegang peranan mendidik akhlak. Pesantren tradisional saat ini mulai bergerak ke arah pengembangan untuk memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat dengan karakteristik khususnya. Salah satu pesantren tradisional yang mengalami pengembangan dengan tetap memelihara tradisionalnya adalah pesantren yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari yaitu pesantren Tebuireng. Pesantren Tebuireng menganut salah satu kaidah ushul fiqh yaitu memelihara tradisi lama itu baik dan mengambil tradisi baru itu lebih baik.
Pesantren Tebuireng banyak mengalami pembaharuan baik di bidang manajemen, kurikulum, dan metode pendidikan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan mencetak ulama/da’i yang mampu bersosialisasi dengan zaman yang selalu berubah-ubah. Pembaharuan tersebut tidak terlepas dari sumbangan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari yang fleksibel.

Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asy’ari dilahirkan pada 14 Februari 1871, di Pesantren Gedang, Desa Tambakrejo, sekitar dua kilometer ke arah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya, Asy’ari adalah pendiri Pesantren Keras di Jombang, sementara kakeknya, Kiai Usman adalah kiai terkenal dan pendiri Pesantren Gedang yang didirikan pada akhir abad ke-19. Selain itu, Moyangnya, Kiai Sihah adalah pendiri Pesantren Tambakberas, Jombang (Ronald Alan : 2004, 164). Ayah K.H. Hasyim Asy’ari sebelumnya merupakan santri terpandai di Pesantren Kiai Usman. Ilmu dan akhlaknya sangat mengagumkan sang kiai sehingga ia dikawinkan dengan anaknya. Ibu K.H. Hasyim Asy’ari merupakan anak pertama dari tiga saudara laki-laki dan dua perempuan: Muhammad, Leler, Fadil, dan Nyonya Arif. Ayah K.H. Hasyim Asy’ari berasal dari Tingkir dan keturunan Abdul Wahid dari Tingkir. Dipercayai bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tingkir, dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi, K.H. Hasyim Asy’ari juga dipercayai merupakan keturunan dari keluarga bangsawan (Lathiful Khuluq : 2008, 16-17).
Pada usia 15 tahun, Hasyim remaja meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu Pesantren Wonokoyo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan menuntut ilmu ke Pesantren Kedemangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan K.H. Kholil yang dikenal sangat alim. Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada 1891, Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub yang kelak menjadi mertuanya. Ia menimba ilmu di Pesantren Siwalan selama lima tahun.
Semangatnya dalam menuntut ilmu membawa dirinya sampai ke tanah suci, Makkah. Selama di Makkah, ia berguru kepada sejumlah ulama besar, di antaranya Syeikh Syuaib bin Abdurrahman, Syaikh Mahfudzh Al-Tirmasi (Tremas, Pacitan), Syaikh Khatib Al-Minangkabawi, Syaikh Ahmad Amin Al-Athar, Syaikh Ibrahim Arab dan lain-lain. Pada saat ia tinggal di Makkah ini, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syaikh Nawawi Al-Bantani. Selama di Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari berbagai negara. Di antaranya ialah Syaikh Al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadits di Makkah), dan lain-lain.
K.H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai seorang pendidik sejati. Hampir seumur hidupnya, beliau mengabdikan diri pada lembaga pendidikan, terutama di Ponpes Tebuireng, Jombang. Awalnya, pada 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal. Dari bangunan kecil inilah emberio Pesantren Tebuireng dimulai. Bagian depan dari bangunan bambu ini digunakan oleh Kiai Hasyim sebagai tempat mengajar dan shalat berjamaah, sedangkan bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Pada awal berdiri, jumlah santri belajar baru delapan orang, dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 orang (Syamsul Kurniawan : 2011, 208). Ini menunjukkan bahwa sifat sabar dan ulet yang diwariskan oleh keluarganya benar-benar melekat dalam karakternya. Dengan karakter yang ia milikinya, menjadikan ia dikagumi dan dipuji oleh kalangan masyarakat Islam khususnya Indonesia.
Pemikirannya dalam pendidikan pesantren tradisional diantaranya tertuang dalam karyanya yang monumental yaitu kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaj ila al-Muta’alim di Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al-Mu’allim di Maqamat Ta’limi. Kitab ini membahas masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan akhlak (etika) (Syamsul : 2011, 207-211). Mengingat bahwa ruh dari pendidikan Islam adalah pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak merupakan tujuan awal dari tujuan pendidikan Islam.
Mujib (2004, 319), bahwa K.H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dan gerakan dan pemikiran kependidikan. Beliau dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa. Bahkan Kiai Kholil (gurunya) memuji akan ketinggian ilmunya dan Kiai Kholil seringkali mengikuti pengajiannya.

Pendidikan Pesantren Tradisional
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan keterampilan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas : 2011, 3). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (KBBI : 1994, 232). Dengan demikian, pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar dan terencana untuk mengubah sikap dan tata laku dengan memiliki kekuatan keterampilan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Perkataan Pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan per di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal tinggal para santri. Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu (Zamakhsyari : 1982, 18). Dengan demikian, pesantren merupakan tempat tinggal para santri yang belajar untuk memahami ajaran agama Islam.
Sedangkan kata tradisional berasal dari kata dasar “tradisi” yang berarti tatanan, budaya atau adat yang hidup dalam sebuah komunitas masyarakat. Kata tradisional tersebut juga selalu merujuk pada peninggalan kebudayaan klasik/kuno (Amin Haedari: 2004, 13). Menurut istilah, pesantren tradisional adalah sistem pendidikan Islam  yang bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa-bahasa Arab, dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik (Depag RI: 2003, 32).
Dengan demikian, pendidikan pesantren tradisional adalah suatu tempat yang digunakan untuk melaksanakan pendidikan yang terencana dalam usaha mengubah sikap dan tata laku seseorang ke arah yang positif melalui sistem klasik/lama seperti penggunaan kitab-kitab klasik dalam pembelajarannya. Pendidikan pesantren tradisional khususnya di Indonesia saat ini menjadi koleksi budaya Indonesia yang memiliki kontribusi bagi bangsa dan umat Islam.

Pemikiran Pendidikan Pesantren Tradisional K.H. Hasyim Asy’ari
1.        Manajemen Pendidikan
Sudah menjadi common sense bahwa pesantren lekat denan figur kiai. Kiai dalam pesantren merupakan figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan. Kepemimpinan yang sentralistik pada individu yang bersandar pada kharisma serta hubungan yang bersifat paternalistik. Kebanyakan pesantren menganut pola “serba-mono”: mono-manajemen dan mono-administrasi sehingga tidak ada delegasi kewenangan ke unit-unit kerja yang ada dalam organisasi (Shulton: 2004, 14-15).
Dalam tradisi pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofier, kiai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan pesantren. Senada dengan hal, Abdurrahman Wahid mengemukakan bahwa kiai merupakan yang tertinggi dari hirarki kekuasaan intern di pesantren dan memiliki kedudukan ganda sebagai pengasuh dan sekaligus pemilik pesantren (Nunu: 2010, 1-2).
Dalam pendidikan pesantren khususnya tradisional manajemen pendidikannya dikelola oleh kiai atau pendiri itu sendiri. Di mulai dari kebijakan, kurikulum, materi pelajaran, metode pembelajaran, dan lain sebagainya. Sedangkan bagi pembantunya apabila hendak menerapkan kebijakan harus mendapat izin dari sang kiai. K.H. Hasyim Asy’ari dalam mengelola pesantrennya menganut dua gaya kepemimpinan sebagai berikut :
Pertama, paternalistik yaitu gaya kepemimpinan kebapakan atau mengutamakan kharisma yang ada dalam pribadinya. Gaya kepemimpinan ini terlihat dari rasa tanggung jawabnya untuk melindungi komponen yang ada di dalam pesantren seperti keluarga, ustadz, santri, dan masyarakat. Kharisma yang dimiliki oleh K.H. Hasyim Asy’ari berupa ketinggian ilmunya, pengalaman mendidik, akhlak, dan tasawuf. Dengan kharismanya membuat para pembantunya selalu mematuhi apa yang menjadi kebijakannya serta tidak seorangpun yang berani membantahnya. Hal ini wajar dikarenakan kontribusi/peran yang amat besar bagi kemajuan pesantren. Apapun kebijakannya selalu memperhatikan dari segi agamis dan sosioligis sehingga dapat diterima secara rasionalistik bagi para pembantunya.
Kedua, demokratis yaitu suatu gaya kepemimpinan yang menganggap dirinya bagian dari kelompok dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya tujuan bersama. Gaya kepemimpinan ini antonim dari gaya kepemimpinan otoriter. K.H. Hasyim Asy’ari menerapkan gaya kepemimpinan ini dalam memajukan pesantrennya, beliau menganggap bahwa untuk memajukan pesantren tidak dapat dilakukan sendiri. Gaya ini terlihat ketika ia mengabulkan permintaan salah satu menantunya Kiai Ali Ma’shum untuk memasukkan kurikulum umum seperti bahasa Indonesia, matematika, Sejarah, Geografi di Madrasah Syafi’iyah (Zuhairini: 2008, 203). Dan juga mengabulkan permintaan anaknya Wahid Hasyim untuk memasukkan metode tutorial sebagai metode pembelajaran.
Gaya kepemimpinan yang diterapkan K.H. Hasyim Asy’ari dalam mengelola manajemen pesantrennya patut untuk dicontoh oleh kepala sekolah dalam mengelola sekolah/madrasah yang ia pimpin supaya menjadi sekolah yang berkualitas. Dan juga patut untuk dicontoh oleh guru dalam mengelola pembelajaran di kelas supaya dapat mencetak anak didiknya yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
2.        Tujuan Pendidikan
Belajar menurut Hasyim Asy'ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah Swt. yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan (Syamsul: 2011, 213).
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam. Dengan nilai-nilai Islam tersebut dapat membawa seseorang mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.
Dari pemikiran Hadratus Syekh tersebut, memberikan pesan kepada para pendidik sekarang dalam mengajar, jangan hanya memberikan ilmu pengetahuan saja melainkan hal yang utama adalah menanamkan nilai-nilai Islam kepada anak didiknya agar anak didik dapat membentengi dirinya dari pengaruh negatif perubahan zaman. Dengan pengendalian tersebut, anak didik akan mendapatkan kebahagian baik di dunia maupun di akhirat.
3.        Signifikansi Pendidikan
Tujuan utama ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya. Hal yang demikian dimaksudkan agar ilmu yang dimilikinya menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Mengingat begitu pentingnya maka syariat mewajibkan untuk menuntutnya dengan memberikan pahala yang besar. Pada bagian lain juga dijelaskan bahwa ilmu merupakan sifat yang menjadikan jelas identitas pemiliknya (Syamsul: 2011, 212). Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam di dunia. Dengan ilmu dapat membawa kebahagian di dunia maupun di akhirat kelak. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةً عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
            Artinya : Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan. (HR. Ibnu Majah)
K.H. Hasyim Asy’ari, terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, Pertama, bagi murid, hendaknya ia berniat suci menuntut ilmu, jangan sekali-sekali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekannya. Kedua, bagi guru, dalam mengajarkan ilmu hendaknya ia meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata-mata. Di samping itu, yang diajarkan hendaknya sesuai dengan tindakan-tindakan yang diperbuat (Syamsul: 2011, 212-213). Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda :
إِنَّمَا الْأَعْمَا لُ بِا لنِّيَّاتِ. وَ إنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى
            Artinya : Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (dibalas) berdasarkan apa yang diniatkannya.(HR. Bukhori Muslim)
Secara spesifik, K.H. Hasyim Asy’ari menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan oleh guru dan siswa : Pertama, bagi guru, guru harus memiliki karakteristik yaitu professional; kasih sayang; berwibawa; takut pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusyu’; menjaga diri dari hal hal yang menurunkan martabat; pandai mengajar; berwawasan luas; dan mengamalkan ajaran Al- Qur’an dan Al-Hadist (Hasyim Asy’ari: 1415, 55-85).
Kedua, bagi siswa, siswa harus mengetahui tugas dan tanggung jawab ketika belajar (membersihkan hati; membersihkan niat; pandai mengatur waktu; menyederhanakan makan dan minum dan barhati-hati; menyedikitkan waktu; menghindari kemalasan; dan meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah), etika terhadap guru (memperhatikan guru, mengikuti jejak guru; memuliakan guru; bersabar; duduk dengan rapi; berbicara sopan; dan tidak menyela guru), etika terhadap pelajaran (memperhatikan ilmu yang bersifat pokok; berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf ulama; bercita-cita tinggi; senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu; menanyakan apa yang tidak dipahami;  selalu membawa catatan; dan belajar secara kontinu, dan menanamkan rasa antusias belajar) (Hasyim Asy’ari: 1415, 24-45).
Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan pesantren lebih menekankan pada pendidikan etika (akhlak). Hal ini terlihat dari hal-hal yang harus diperhatikan oleh guru dan murid dalam pembelajaran. Ini merupakan sebagai contoh bahwa K.H. Hasyim Asy’ari sebagai seorang pendidik sejati. Pemikiran yang ditawarkan oleh beliau bersumber dari pengalaman sebagai seorang pendidik dan ilmu tasawuf.
4.        Metode Pembelajaran
Sistem belajar dan metode belajar yang diterapkan dalam Pesantren Tebuireng pada awal perkembangannya, mengakomodasi sistem pendidikan Islam klasik (sebelum Madrasah Nizhamiyah di Baghdad) yakni sistem individual atau halaqah, sistem individual yang diterapkan melalui metode wetonan dan sorogan, dan metode hafalan merupakan istilah-istilah lain dari metode yang diterapkan pada Islam klasik. Subyek yang amat menentukan dalam aplikasi pendidikan yang diterapkan adalah tenaga pengajar. Adapun metode-metode yang digunakan di pesantren yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari adalah sebagai berikut :
a.         Metode Wetonan atau Bandongan
Metode wetonan atau bandongan merupakan metode utama pengajaran di lingkungan pesantren. Dalam sistem ini sekelompok santri membentuk halaqah. Di sana guru membaca, menerjemahkan dan menerangkan, dan sekaligus mengulas kitab kuning yang dipelajari. Para santri mendengarkan bacaan dan uraian guru sambil memperhatikan kitabnya sendiri dan membuat catatan penting. Biasanya catatan itu meliputi arti kata-kata yang sulit dan keterangan tentang hal-hal yang dianggap pelik (Niswah: 2010, 214-215).
Bentuk penerapan dari metode ini, K.H. Hasyim Asy’ari membaca kitab kepada anak didiknya seperti kitab Fath al-Qorib, kiai membaca, menerjemahkan, dan menerangkan baik dari segi isi maupun tata bahasa (nahwu shorof). Sedangkan santri hanya mendengarkan dan membuat catatan yang penting (kata-kata sulit atau keterangan yang dianggap penting. Biasanya metode ini diikuti 50 santri hingga 500 santri. Metode ini sangat efektif, bila seorang santri telah melewati sistem sorogan (individual).
b.        Metode Sorogan
Metode sorogan merupakan cara belajar individual yang biasanya digunakan dalam belajar kitab berbahasa Arab. Pada pengajian dengan sistem ini guru membacakan beberapa baris dari kitab yang dipelajari kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa (Melayu dan lainnya). Pada gilirannya si santri mengulangi bacaan tersebut dan menerjemahkannya kata demi kata seperti yang dilakukan oleh gurunya. Melalui cara ini, diharapkan murid sekaligus dapat mengetahui arti dan fungsi setiap kata dalam kalimat Bahasa Arab yang dibacanya. Pelajaran tambahan hanya akan diberikan bila si santri telah menguasai dengan baik bahan pelajaran terdahulu. Biasanya seorang guru yang mengajar dengan sistem ini hanya membimbing murid, tiga atau empat orang saja (Niswah: 2010, 214). Sistem sorogan ini menuntut kesabaran, ketaatan, dan disiplin pribadi dari murid. Sistem ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim.
Bentuk penerapan metode ini, kiai membaca, mengartikan satu-persatu kalimat bahasa Arab, kemudian menerjemahkannya. Selanjutnya kiai memerintahkan kepada salah satu santri untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan sang kiai. Dari metode ini, ada tiga hal yang dilakukan oleh santri yaitu (1) membaca kalimat bahasa Arab; (2) mengartikan satu persatu kalimat bahasa Arab; dan (3) memahami makna dari kalimat yang dibacakan. Metode ini akan efektif, apabila murid sabar, rajin, taat, dan disiplin sedangkan guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal serta memperhatikan kemampuan setiap anak didik.
c.         Metode Hafalan
Hafalan, metode yang diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya dipakai untuk menghafalkan kitab-kitab tertentu, semisal Alfiyah Ibnu Malik atau juga sering juga dipakai untuk menghafalkan Al-Qur’an, baik surat-surat pendek maupun secara keseluruhan. Metode ini cukup relevan untuk diberikan kepada murid-murid usia anak-anak, tingkat dasar, dan tingkat menengah. Pada usia diatas itu, metode hafalan sebaiknya dikurangi sedikit demi sedikit, dan lebih tepat digunakan untuk rumus-rumus dan kaidah-kaidah (Amien: 2004, 17).
Dalam metode hafalan para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Hafalan yang dimiliki santri ini kemudian di “setorkan” dihadapan kiai atau ustadznya secara priodik atau insidental tergantung kepada petunjuk sebelumnya. Dengan demikian, titik tekan pada pembelajaran ini adalah santri mampu mengucapkan atau melafalkan sekumpulan materi pembelajaran secara lancar dengan tanpa melihat atau membaca teks.
d.        Metode Hiwar atau Musyawarah
Metode hiwar atau musyawarah hampir sama dengan metode diskusi yang umum kita kenal selama ini. Bedanya metode hiwar ini dilaksanakan dalam rangka pendalaman atau pengayaan materi yang sudah ada di santri. Yang menjadi ciri khas dari hiwar ini, santri dan guru biasanya terlibat dalam sebuah forum perdebatan untuk memecahkan masalah yang ada dalam kitab-kitab yang sedang di santri (Amien: 2004, 18).
Metode ini hanya digunakan oleh Hadratus Syekh bagi santri-santri senior dalam kelas musyawarah yang dibuatnya. Dalam kelas musyawarah, kiai menyeleksi dengan ketat bagi santri yang ingin memasuki kelas tersebut. Diharapkan dengan metode ini, dapat menciptakan ulama-ulama yang handal dari segi keilmuan.
5.        Materi Pendidikan
Materi pendidikan Islam yang diajarkan di Pesantren Tebuireng yang ia pimpin adalah Bahasa Arab, Membaca Al-Qur,an, Nahwu dan Shorof, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, fiqh (Kitab Fathul Qorib), Hadits (Kitab Shohih Bukhori dan Shohih Muslim), ilmu tasawuf (Kitab Ihya Ulumuddin), muroja’ah Al-Qur’an, sejarah rasulullah (Kitab al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh),  fiqh mazhab Imam Syafi’i (Kitab al-Muhaddzab, Ilmu Hadits (Kitab Al-Muwattha’).
Sedangkan materi pendidikan umum yang diajarkan di Madrasah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng yaitu Bahasa Indonesia (Melayu), Matematika, Geografi, Bahasa Belanda dan Sejarah (Zuhairini, 2004, 203).
Pesantren Tebuireng tidak hanya menyelenggarakan pendidikan agama saja tetapi menyelenggarakan pendidikan umum juga. Pelajaran umum ini digunakan untuk kepentingan santri ketika keluar dari pesantren. Pelajaran ini sangat bermanfaat setelah sepuluh tahun diterapkan, karena pada saat itu Jepang mewajibkan menulis surat menggunakan bahasa Indonesia. Secara tidak langsung hanya keluaran dari Tebuireng saja yang dapat melakukan hal tersebut. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh santri untuk mendapatkan kemerdekaan dari para penjajah.

Penutup
Pendidikan pesantren tradisional yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari merupakan pesantren yang mengalami pengembangan ke arah peningkatan kualitas yang mampu beradaptasi dengan semua lapisan masyarakat. Pengembangan tersebut terlihat dari usaha kiai mendirikan madrasah di pesantrennya yaitu Madrasah Salafiyah Syafi’iyah dan juga menambah kurikulum pendidikan umum di pesantrennya yaitu bahasa Indonesia, Geografi, Matematika, dan Sejarah. Kebijakan ini pada awalnya mendapat pertentangan dari kalangan ulama-ulama tradisional di Jawa, namun dengan kharisma beliau, pertentangan tersebut merendah.
Kebijakan tersebut dilakukan tidak lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebijakan tersebut mendapatkan hasil setelah 10 tahun berlalu yaitu pada zaman Jepang.
Pemikiran pendidikan pesantren tradisional K.H. Hasyim Asy’ari mencakup manajemen pendidikan, tujuan pendidikan, signifikansi pendidikan, metode pendidikan, dan materi pendidikan.
K.H. Hasyim Asy’ari menggunakan sistem mono-manajemen dalam mengelola pesantrennya dengan gaya kepemimpinan paternalistik dan demokratis. Paternalistik merupakan gaya kepemimpinan yang menonjolkan kebapakan/kharisma. Sedangkan demokratis merupakan gaya kepemimpinan yang menyatakan bahwa untuk menuju kemajuan tidak dapat dilakukan dengan sendiri melainkan butuh akan bantuan orang lain.
Tujuan pendidikan adalah untuk mendapatkan ridho Allah Swt. mengilangkan kebodohan, dan mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam untuk mendapatkan kebahagian di dunia dan akhirat.
Signifikansi pendidikan merupakan kedudukan ilmu pengetahuan. Betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi umat manusia sehingga Nabi Muhammad mewajibkan untuk menuntut ilmu dan Allah Swt. menganjarkan pahala dan derajat tinggi bagi orang yang berilmu. Hal yang terpenting dalam ilmu pengetahuan adalah niat karena Allah Swt. dan mengamalkannya. Dalam menuntut ilmu pengetahuan, ada beberapa yang harus diperhatikan oleh guru dan anak didik, yaitu akhlak ketika belajar, akhlak kepada guru, dan akhlak kepada pelajaran. Begitu juga guru harus profesional, berwibawa, dan lain sebagainya.
Metode pendidikan yang biasa digunakan di pesantren tradisional K.H. Hasyim Asy’ari ialah metode sorogan, bandongan/wetonan, hafalan, musyawarah. Metode ini tetap bertahan seiring dengan berkembangnya metode pendidikan yang lebih mengaktifkan siswa.
Meteri pendidikan yang ditawarkan K.H. Hasyim Asy’ari terbagi menjadi dua, yaitu materi pendidikan Islam (Tasawuf, Hadits, Tafsir, Qur’an, Akhlak, Tauhid, dan sejenisnya) dan materi pendidikan umum (Sejarah, Bahasa Indonesia, Matematika, dan Geografi). Materi pendidikan umum dimasukkan ketika beliau mendirikan Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Hal ini diperlukan untuk menjawab tantangan zaman yaitu ulama pintar ilmu agama dan ilmu umum.
Apa yang ditawarkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalam hal pendidikan pesantren tradisional untuk menjawab tantangan zaman yang selalu berkembang ke arah modern. Dan juga menafikan anggapan sebagian masyarakat bahwa pesantren sebagai tempat pendidikan “kolot” dan kaku. Serta menafikan anggapan sebagian masyarakat bahwa pesantren sama halnya dengan “kerajaan kecil”. Wallahu A’lam Bi Asshowab …

Padjrin Dha Niess

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

1 komentar:

  1. According to Stanford Medical, It's really the one and ONLY reason women in this country get to live 10 years longer and weigh an average of 19 KG lighter than us.

    (And realistically, it really has NOTHING to do with genetics or some hard exercise and EVERYTHING to around "how" they are eating.)

    P.S, What I said is "HOW", not "WHAT"...

    Tap this link to determine if this brief quiz can help you find out your real weight loss potential

    BalasHapus