Hasil
Penelitian Kunjungan ke Kayu Agung OKI
Tema
: Fakta dan Realita Pengembangan Pendidikan (Analisis Prospektif)
(Rabu, 27 Juni 2012)
Dalam
bidang pendidikan, pemerintah OKI memiliki visi :“Pendidikan bermutu dengan menguasai
iptek dan berakhlak mulia”. Visi tersebut mengambarkan bahwa pemerintah
OKI memiliki tujuan yang jelas dan
sebagai bentuk tanggung jawab untuk mencerdaskan masyarakat OKI.
Untuk
merealisasikan visi tersebut, pemerintah OKI melakukan usaha nyata yaitu
sebagai berikut :
1. Penyempurnaan sistem kerja
2. Peningkatan profesionalisme dan menumbuhkan cinta profesi tenaga
kependidikan
3. Pemerataan penyebaran guru
4. Peningkatan sarana prasarana pendidikan
Dalam
melaksanakan usaha tersebut, pemerintah OKI banyak mendapat hambatan atau
rintangan dimulai dari permasalahan siswa, guru, dan sarana prasarana
pendidikan. Hingga saat ini pemerintah OKI terus meminimalkan permasalahan
tersebut dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada peningkatan
mutu pendidikan.
Dari
siswa, permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah OKI adalah sebagai berikut :
1.
Belum tercapainya wajib
belajar 9 tahun
2.
Rendahnya angka rata-rata
lama sekolah (6,74 %)
3.
Masih ada angka buta huruf
(3,99 %)
4.
Rendahnya mutu lulusan
5.
Masih tingginya angka putus
sekolah
6.
Rendahnya kemampuan siswa
dalam 3 R (Menulis, Membaca, dan Menghitung)
7.
Rendahnya motivasi dalam
belajar
Untuk
mengatasi permasalah tersebut, melalui kebijakan dari Ishak Mekki (Bupati OKI)
melakukan aksi nyata yaitu sebagai berikut :
1.
Beasiswa anak miskin
2.
Bantuan pakaian sekolah
3.
Mendirikan sekolah satu
atap di daerah terisolir
4.
Meningkatkan anggaran
pendidikan
Dari
guru, permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah OKI adalah sebagai berikut :
1.
Masih banyak guru yang
belum S-1 (strata satu)
2.
Kurangnya penyebaran guru
disebabkan oleh kondisi geografis OKI didominasi oleh rawa-rawa (75%) dan
infrastruktur jalan yang minim
3.
Masih banyak guru yang
tidak profesional
4.
Guru yang ditempatkan di
daerah terisolir meminta untuk dipindahkan ke daerah perkotaan
5.
Minimnya guru yang
bersertifikasi
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, Bupati OKI melakukan kebijakan sebagai berikut
:
1.
Memperbanyak guru untuk
mengikuti sertifikasi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi
2. Membuka peluang bagi guru
yang berada di luar daerah OKI untuk mengajar dengan syarat bersedia
ditempatkan di daerah terisolir
3.
Memberikan intensif (gaji)
kepada guru yang berada di daerah terisolir sebesar Rp. 250.000
4.
Memberikan laptop gratis
kepada masing-masing sekolah
Dari
segi sarana prasarana pendidikan, masalah yang dihadapi oleh pemerintah OKI
sebagai berikut :
1.
Masih ada bangunan sekolah
yang rusak ringan dan berat
2.
Infrastrukur jalan yang
minim sehingga menyebabkan sulitnya pemasokan material bangunan
3.
Sedikitnya lembaga
pendidikan
Untuk
mengatasi permasalah tersebut, Bupati OKI melakukan usaha nyata yaitu sebagai
berikut :
1.
Memperbaiki bangunan
sekolah yang rusak. Hingga saat ini sulit untuk mencari sekolah yang rusak di
OKI
2.
Mendirikan sekolah satu
atap
3. Memperbanyak pendirian
lembaga pendidikan. sebagai contoh sebelum Ishak Mekki memimpin, OKI memiliki 1
SMK hingga saat ini sudah ada 7 SMK di OKI
Kabupaten
OKI saat ini mengalami kemajuan di bidang pendidikan. Sehingga OKI menjadi
salah satu kebupaten yang berhasil mengelola dan mengembangkan pendidikan di
Sumatera Selatan. Kemajuan tersebut ditandai beberapa indicator sebagai berikut
:
- Di terimanya penghargaan “Sindo Award” oleh Bupati OKI Ishak Mekki. Penghargaan tersebut diperoleh atas dedikasinya dalam dunia pendidikan.
- Pemberian predikat RSBI (Rintisan Sekolah bertaraf Internasional) kepada SMA Negeri 3 Unggulan Kayu Agung. Predikat tersebut diterima atas prestasi yang diraih oleh siswanya dan banyaknya siswa lulus seleksi di perguruan tinggi ternama di Indonesia misalnya UI, UGM, dll serta internasional misalnya beasiswa ke Turki. Bahkan di 2012 mendapat urutan ke-3 nilai UN tertinggi di Sumatera Selatan.
- Didirikannya Pondok Pesantren Bait Qur’an (Tahfidz). Sekolah ini didirikan sebagai bentuk cinta Bupati OKI kepada dunia Islam. Sekolah ini menerapkan sistem seleksi yang ketat dalam penerimaan mahasiswa baru. Namun pihak pengelola memberikan kebijakan 5 % bagi siswa yang tidak mampu. Dan memberikan penghargaan bagi siswa yang hafal Al-Qur’an 5, 10, hingga 30 juz.
- Universitas Islam OKI (Uniski). Uniski merupakan universitas yang bergerak di bidang pendidikan umum dan pendidikan Islam sebagai tempat mencetak kaum muda yang berkualitas. Berdirinya universitas ini untuk memenuhi kebutuhan masyarakat OKI akan perguruan tinggi dan bentuk kelengkapan lembaga pendidikan di OKI dari PAUD hingga perguruan tinggi.
PEMIKIRAN
PENDIDIKAN PESANTREN TRADISIONAL
K.H. HASYIM
ASY’ARI
Oleh : Padjrin
El-Raiz
Mahasiswa PAI 04 Jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Tarbiyah
IAIN Raden Fatah Palembang
Abstrak : Pesantren merupakan “Bapak”
pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren tradisional dalam sejarahnya tidak
hanya berkontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa, melainkan berkontribusi
juga dalam mengusir para penjajah untuk merebut kemerdekaan. Pesantren
merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat
tradisional dan berciri khusus, baik sistem pendidikan, sistem belajar maupun
tujuan serta fungsinya. Seiring dengan berjalannya waktu, pesantren tradisional
mengalami pengembangan dengan tetap memelihara karakteristiknya. Usaha
pengembangan tersebut, tidak terlepas dari peranan pendiri berbagai lembaga
pendidikan Islam sejak dahulu sampai sekarang serta partisipasi dari berbagai
pihak yang terkait. Di antara pendiri yang berjasa adalah K.H. Hasyim Asy’ari.
Beliau menuangkan pemikirannya di berbagai bidang seperti politik, pendidikan
pesantren (tujuan, kurikulum dan metode pendidikan), akhlak, kebijakan, dan
organisasi kemasyarakatan (Nahdlatul Ulama).
Kata Kunci : Pendidikan, Pesantren
Tradisional, K.H. Hasyim Asy’ari
Pendahuluan
Pondok
pesantren yang merupakan “Bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, didirikan
karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman, hal ini bisa dilihat dari
perjalanan historisnya, bahwa sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran
kewajiban dakwah islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran
Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama dan da’i (Hasbullah : 1999, 40).
Pesantren pada awal perjalanannya digunakan sebagai basis dakwah dan
budaya-budaya Islam klasik. Di samping sebagai basis dakwah, pesantren juga
dijadikan sebagai basis mencetak kader-kader ulama dan dai sebagai pengantar pesan
dakwah kepada umat manusia.
Sebagai
suatu lembaga pendidikan Islam, pesantren dari sudut historis kultural dapat
dikatakan sebagai “training center” yang otomatis menjadi “cultural
central” Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat,
setidak-tidaknya oleh masyarakat Islam sendiri yang secara “defacto”
tidak dapat diabaikan oleh pemerintah (Hasbullah : 1999, 40). Pesantren berubah
dari pusat pendidikan menjadi pusat budaya dikarenakan dalam pendidikan
pesantren tidak mengenal sistem kasta (tingkatan ekonomi) berbeda dengan sistem
pendidikan yang dikelola oleh penjajah, sehingga apabila nama besar sebuah
pesantren tersiar dari mulut ke mulut maka berbondong-bondong masyarakat
sekitar bahkan luar daerah memasukkan anak mereka untuk dididik menjadi orang
yang alim. Dengan bercampurnya masyarakat di sekitar dan luar daerah secara
tidak langsung terjadinya kontak budaya dengan keragaman budaya masing-masing.
Pada
masa penjajahan kolonial Belanda, yaitu sekitar abad ke-18-an, nama pesantren
sebagai lembaga pendidikan rakyat terasa sangat berbobot terutama dalam bidang
penyiaran Islam. Kelahiran pesantren baru, selalu diawali dengan cerita perang
nilai antara pesantren yang akan berdiri dengan masyarakat sekitarnya, dan
diakhiri dengan kemenangan pihak pesantren, sehingga pesantren dapat diterima
untuk hidup di masyarakat, dan kemudian menjadi panutan bagi masyarakat
sekitarnya dalam bidang kehidupan moral (Hasbullah : 1999, 42).
Kehadiran
pesantren di tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi
juga sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial keagamaan. Dengan sifatnya yang
lentur (fleksibel), sejak awal kehadirannya, pesantren mampu mengadaptasikan
diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Sehingga mendapat
kepercayaan dari masyarakat untuk mendidik anak-anak mereka.
Zamaksyari
Dhofier (1982, 44-60) menjelaskan lima elemen dasar lahirnya pesantren di
Indonesia yaitu kiai, pondok, masjid, santri, dan kitab-kitab klasik. Kiai
sebagai cikal bakal berdirinya pesantren biasanya tinggal di tempat pemukiman
baru yang cukup luas. Karena terpanggil untuk berdakwah mereka mendirikan
masjid yang cukup sederhana. Jama’ah semakin ramai dan yang tempat tinggalnya
jauh mereka ingin menetap bersama kiai. Dan kemudiaan dibuat beberapa pondok
(pondok sebagai tempat tinggal) bahkan asrama khusus agar tidak mengganggu
ketenangan beribadah di masjid. Dengan bertempat di masjid, kiai mengajar para
santri dengan materi kitab Islam klasik. Ini berarti bahwa suatu lembaga
pengajian yang telah berkembang hingga memiliki kelima elemen tersebut, akan
berubah statusnya menjadi pesantren.
Pesantren
merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat
tradisional dan berciri khusus, baik sistem pendidikan, sistem belajar maupun
tujuan serta fungsinya. Saat ini jumlah pesantren di Indonesia ada sekitar
7.000 buah dengan santri sekitar 10 juta orang dan jumlah tenaga pengajar
sekita 150 ribu orang (Akmal Hawi, 2008, 93). Melihat data tersebut, pendidikan
pesantren dianggap strategis dalam pembangunan bangsa Indonesia jika dikelola
dengan baik. Senada dengan hal itu, Ahmad Malik Fajar (1999, 3), menyatakan
bahwa pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam yang sejak
awal berdirinya telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya mencerdaskan
bangsa dan juga telah memberikan andilnya yang besar dalam pembinaan dan
pengembangan kehidupan umat Islam di Indonesia. Pesantren dengan karakteristik khususnya mampu melahirkan ulama/pemikir besar di
negeri ini seperti Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Abdurrahman Wahid, dan
lainnya.
Mengenai
peranan dan keberadaan pesantren di Indonesia, Jalaluddin (2000, 1-2)
menegaskan bahwa, upaya menyampaikan nilai-nilai agama Islam kepada manusia
diperlukan suatu wadah yang tepat sebagai sarana untuk mengembangkannya. Wadah
yang dimaksud adalah lembaga madrasah diniyah dan pondok pesantren.
Sebab hanya ada dua lembaga pendidikan itulah kurikulum pendidikan agama Islam
dilaksanakan secara utuh. Dengan demikian, pesantren memiliki kontribusi bagi
negeri ini dalam kemerdekaan Indonesia dan bidang pendidikan.
Pesantren
tradisional hingga saat ini masih terpelihara keberadaannya dengan tetap
memegang peranan mendidik akhlak. Pesantren tradisional saat ini mulai bergerak
ke arah pengembangan untuk memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat dengan
karakteristik khususnya. Salah satu pesantren tradisional yang mengalami
pengembangan dengan tetap memelihara tradisionalnya adalah pesantren yang
didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari yaitu pesantren Tebuireng. Pesantren
Tebuireng menganut salah satu kaidah ushul fiqh yaitu memelihara tradisi
lama itu baik dan mengambil tradisi baru itu lebih baik.
Pesantren
Tebuireng banyak mengalami pembaharuan baik di bidang manajemen, kurikulum, dan
metode pendidikan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan
mencetak ulama/da’i yang mampu bersosialisasi dengan zaman yang selalu
berubah-ubah. Pembaharuan tersebut tidak terlepas dari sumbangan pemikiran K.H.
Hasyim Asy’ari yang fleksibel.
Riwayat Hidup K.H. Hasyim
Asy’ari
K.H.
Hasyim Asy’ari dilahirkan pada 14 Februari 1871, di Pesantren Gedang, Desa
Tambakrejo, sekitar dua kilometer ke arah utara Kota Jombang, Jawa Timur.
Ayahnya, Asy’ari adalah pendiri Pesantren Keras di Jombang, sementara kakeknya,
Kiai Usman adalah kiai terkenal dan pendiri Pesantren Gedang yang didirikan
pada akhir abad ke-19. Selain itu, Moyangnya, Kiai Sihah adalah pendiri
Pesantren Tambakberas, Jombang (Ronald Alan : 2004, 164). Ayah K.H. Hasyim
Asy’ari sebelumnya merupakan santri terpandai di Pesantren Kiai Usman. Ilmu dan
akhlaknya sangat mengagumkan sang kiai sehingga ia dikawinkan dengan anaknya.
Ibu K.H. Hasyim Asy’ari merupakan anak pertama dari tiga saudara laki-laki dan
dua perempuan: Muhammad, Leler, Fadil, dan Nyonya Arif. Ayah K.H. Hasyim
Asy’ari berasal dari Tingkir dan keturunan Abdul Wahid dari Tingkir. Dipercayai
bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tingkir, dan raja Hindu
Majapahit, Brawijaya VI. Jadi, K.H. Hasyim Asy’ari juga dipercayai merupakan
keturunan dari keluarga bangsawan (Lathiful Khuluq : 2008, 16-17).
Pada
usia 15 tahun, Hasyim remaja meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana
memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo
Jombang, lalu Pesantren Wonokoyo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan
Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim
melanjutkan menuntut ilmu ke Pesantren Kedemangan, Bangkalan, Madura, di bawah
asuhan K.H. Kholil yang dikenal sangat alim. Setelah lima tahun menuntut ilmu
di Bangkalan, pada 1891, Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di Pesantren
Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub yang kelak menjadi
mertuanya. Ia menimba ilmu di Pesantren Siwalan selama lima tahun.
Semangatnya
dalam menuntut ilmu membawa dirinya sampai ke tanah suci, Makkah. Selama di
Makkah, ia berguru kepada sejumlah ulama besar, di antaranya Syeikh Syuaib bin
Abdurrahman, Syaikh Mahfudzh Al-Tirmasi (Tremas, Pacitan), Syaikh Khatib
Al-Minangkabawi, Syaikh Ahmad Amin Al-Athar, Syaikh Ibrahim Arab dan lain-lain.
Pada saat ia tinggal di Makkah ini, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di
Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syaikh Nawawi
Al-Bantani. Selama di Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari
berbagai negara. Di antaranya ialah Syaikh Al-Maimani (mufti di Bombay, India),
Syaikh Umar Hamdan (ahli hadits di Makkah), dan lain-lain.
K.H.
Hasyim Asy’ari dikenal sebagai seorang pendidik sejati. Hampir seumur hidupnya,
beliau mengabdikan diri pada lembaga pendidikan, terutama di Ponpes Tebuireng,
Jombang. Awalnya, pada 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang
dalang di Dukuh Tebuireng. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang
terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal. Dari bangunan kecil inilah emberio
Pesantren Tebuireng dimulai. Bagian depan dari bangunan bambu ini digunakan
oleh Kiai Hasyim sebagai tempat mengajar dan shalat berjamaah, sedangkan bagian
belakang dijadikan tempat tinggal. Pada awal berdiri, jumlah santri belajar
baru delapan orang, dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 orang (Syamsul
Kurniawan : 2011, 208). Ini menunjukkan bahwa sifat sabar dan ulet yang
diwariskan oleh keluarganya benar-benar melekat dalam karakternya. Dengan
karakter yang ia milikinya, menjadikan ia dikagumi dan dipuji oleh kalangan
masyarakat Islam khususnya Indonesia.
Pemikirannya
dalam pendidikan pesantren tradisional diantaranya tertuang dalam karyanya yang
monumental yaitu kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaj ila
al-Muta’alim di Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al-Mu’allim di Maqamat Ta’limi.
Kitab ini membahas masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan
akhlak (etika) (Syamsul : 2011, 207-211). Mengingat bahwa ruh dari pendidikan
Islam adalah pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak merupakan tujuan awal dari
tujuan pendidikan Islam.
Mujib (2004, 319), bahwa K.H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang
piawai dan gerakan dan pemikiran kependidikan. Beliau dikategorikan sebagai
generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.
Bahkan Kiai Kholil (gurunya) memuji akan ketinggian ilmunya dan Kiai Kholil
seringkali mengikuti pengajiannya.
Pendidikan Pesantren Tradisional
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan keterampilan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas : 2011, 3). Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (KBBI : 1994, 232). Dengan
demikian, pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar dan
terencana untuk mengubah sikap dan tata laku dengan memiliki kekuatan
keterampilan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak
mulia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Perkataan
Pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan per di depan dan
akhiran an berarti tempat tinggal tinggal para santri. Johns
berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru
mengaji. Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah shastri
yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu,
atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu (Zamakhsyari : 1982, 18).
Dengan demikian, pesantren merupakan tempat tinggal para santri yang belajar
untuk memahami ajaran agama Islam.
Sedangkan
kata tradisional
berasal dari kata dasar “tradisi” yang berarti tatanan, budaya atau adat yang
hidup dalam sebuah komunitas masyarakat. Kata tradisional tersebut juga selalu
merujuk pada peninggalan kebudayaan klasik/kuno (Amin Haedari: 2004, 13). Menurut
istilah, pesantren tradisional adalah sistem pendidikan Islam yang
bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa-bahasa
Arab, dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik (Depag RI: 2003, 32).
Dengan
demikian, pendidikan pesantren tradisional adalah suatu tempat yang digunakan
untuk melaksanakan pendidikan yang terencana dalam usaha mengubah sikap dan
tata laku seseorang ke arah yang positif melalui sistem klasik/lama seperti
penggunaan kitab-kitab klasik dalam pembelajarannya. Pendidikan pesantren
tradisional khususnya di Indonesia saat ini menjadi koleksi budaya Indonesia
yang memiliki kontribusi bagi bangsa dan umat Islam.
Pemikiran Pendidikan Pesantren
Tradisional K.H. Hasyim Asy’ari
1.
Manajemen Pendidikan
Sudah
menjadi common sense bahwa pesantren lekat denan figur kiai. Kiai dalam
pesantren merupakan figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan
perubahan. Kepemimpinan yang sentralistik pada individu yang bersandar pada
kharisma serta hubungan yang bersifat paternalistik. Kebanyakan pesantren
menganut pola “serba-mono”: mono-manajemen dan mono-administrasi sehingga tidak
ada delegasi kewenangan ke unit-unit kerja yang ada dalam organisasi (Shulton:
2004, 14-15).
Dalam
tradisi pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofier, kiai merupakan elemen yang
paling esensial dari suatu pesantren. Kiai merupakan sumber mutlak dari
kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan
pesantren. Senada dengan hal, Abdurrahman Wahid mengemukakan bahwa kiai
merupakan yang tertinggi dari hirarki kekuasaan intern di pesantren dan
memiliki kedudukan ganda sebagai pengasuh dan sekaligus pemilik pesantren (Nunu:
2010, 1-2).
Dalam
pendidikan pesantren khususnya tradisional manajemen pendidikannya dikelola
oleh kiai atau pendiri itu sendiri. Di mulai dari kebijakan, kurikulum, materi
pelajaran, metode pembelajaran, dan lain sebagainya. Sedangkan bagi pembantunya
apabila hendak menerapkan kebijakan harus mendapat izin dari sang kiai. K.H.
Hasyim Asy’ari dalam mengelola pesantrennya menganut dua gaya kepemimpinan
sebagai berikut :
Pertama, paternalistik yaitu gaya
kepemimpinan kebapakan atau mengutamakan kharisma yang ada dalam pribadinya.
Gaya kepemimpinan ini terlihat dari rasa tanggung jawabnya untuk melindungi
komponen yang ada di dalam pesantren seperti keluarga, ustadz, santri, dan
masyarakat. Kharisma yang dimiliki oleh K.H. Hasyim Asy’ari berupa ketinggian
ilmunya, pengalaman mendidik, akhlak, dan tasawuf. Dengan kharismanya membuat
para pembantunya selalu mematuhi apa yang menjadi kebijakannya serta tidak
seorangpun yang berani membantahnya. Hal ini wajar dikarenakan kontribusi/peran
yang amat besar bagi kemajuan pesantren. Apapun kebijakannya selalu
memperhatikan dari segi agamis dan sosioligis sehingga dapat diterima secara
rasionalistik bagi para pembantunya.
Kedua, demokratis yaitu suatu gaya
kepemimpinan yang menganggap dirinya bagian dari kelompok dan bersama-sama
dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya
tujuan bersama. Gaya kepemimpinan ini antonim dari gaya kepemimpinan otoriter.
K.H. Hasyim Asy’ari menerapkan gaya kepemimpinan ini dalam memajukan
pesantrennya, beliau menganggap bahwa untuk memajukan pesantren tidak dapat
dilakukan sendiri. Gaya ini terlihat ketika ia mengabulkan permintaan salah satu
menantunya Kiai Ali Ma’shum untuk memasukkan kurikulum umum seperti bahasa
Indonesia, matematika, Sejarah, Geografi di Madrasah Syafi’iyah (Zuhairini:
2008, 203). Dan juga mengabulkan permintaan anaknya Wahid Hasyim untuk
memasukkan metode tutorial sebagai metode pembelajaran.
Gaya
kepemimpinan yang diterapkan K.H. Hasyim Asy’ari dalam mengelola manajemen
pesantrennya patut untuk dicontoh oleh kepala sekolah dalam mengelola
sekolah/madrasah yang ia pimpin supaya menjadi sekolah yang berkualitas. Dan
juga patut untuk dicontoh oleh guru dalam mengelola pembelajaran di kelas
supaya dapat mencetak anak didiknya yang sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional.
2.
Tujuan Pendidikan
Belajar
menurut Hasyim Asy'ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah Swt. yang
mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya
belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai
Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan (Syamsul: 2011, 213).
Pendidikan
hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu
mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma
Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju
dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai
dengan nilai dan norma-norma Islam. Dengan nilai-nilai Islam tersebut dapat
membawa seseorang mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.
Dari
pemikiran Hadratus Syekh tersebut, memberikan pesan kepada para pendidik
sekarang dalam mengajar, jangan hanya memberikan ilmu pengetahuan saja
melainkan hal yang utama adalah menanamkan nilai-nilai Islam kepada anak
didiknya agar anak didik dapat membentengi dirinya dari pengaruh negatif
perubahan zaman. Dengan pengendalian tersebut, anak didik akan mendapatkan
kebahagian baik di dunia maupun di akhirat.
3.
Signifikansi
Pendidikan
Tujuan
utama ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya. Hal yang demikian dimaksudkan
agar ilmu yang dimilikinya menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan
di akhirat kelak. Mengingat begitu pentingnya maka syariat mewajibkan untuk
menuntutnya dengan memberikan pahala yang besar. Pada bagian lain juga
dijelaskan bahwa ilmu merupakan sifat yang menjadikan jelas identitas
pemiliknya (Syamsul: 2011, 212). Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seluruh
umat Islam di dunia. Dengan ilmu dapat membawa kebahagian di dunia maupun di
akhirat kelak. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda :
طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيْضَةً عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
Artinya
: Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan muslim
perempuan. (HR. Ibnu Majah)
K.H. Hasyim Asy’ari, terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut
ilmu, Pertama, bagi murid, hendaknya ia berniat suci menuntut ilmu,
jangan sekali-sekali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkan atau
menyepelekannya. Kedua, bagi guru, dalam mengajarkan ilmu hendaknya ia
meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata-mata. Di
samping itu, yang diajarkan hendaknya sesuai dengan tindakan-tindakan yang
diperbuat (Syamsul: 2011, 212-213). Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda :
إِنَّمَا الْأَعْمَا لُ
بِا لنِّيَّاتِ. وَ إنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى
Artinya
: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap
orang (dibalas) berdasarkan apa yang diniatkannya.(HR. Bukhori Muslim)
Secara
spesifik, K.H. Hasyim Asy’ari menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan oleh
guru dan siswa : Pertama, bagi guru, guru harus memiliki karakteristik
yaitu professional; kasih
sayang; berwibawa; takut pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusyu’; menjaga diri
dari hal hal yang menurunkan martabat; pandai mengajar; berwawasan luas; dan mengamalkan
ajaran Al- Qur’an dan Al-Hadist (Hasyim Asy’ari: 1415, 55-85).
Kedua, bagi
siswa, siswa harus mengetahui tugas dan tanggung jawab ketika belajar (membersihkan
hati; membersihkan niat; pandai mengatur waktu; menyederhanakan makan dan minum
dan barhati-hati; menyedikitkan waktu; menghindari kemalasan; dan meninggalkan
hal-hal yang kurang berfaedah), etika terhadap guru (memperhatikan guru,
mengikuti jejak guru; memuliakan guru; bersabar; duduk dengan rapi; berbicara
sopan; dan tidak menyela guru), etika terhadap pelajaran (memperhatikan ilmu
yang bersifat pokok; berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf ulama;
bercita-cita tinggi; senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu; menanyakan apa
yang tidak dipahami; selalu membawa
catatan; dan belajar secara kontinu, dan menanamkan rasa antusias belajar)
(Hasyim Asy’ari: 1415, 24-45).
Pemikiran
K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan pesantren lebih menekankan pada
pendidikan etika (akhlak). Hal ini terlihat dari hal-hal yang harus
diperhatikan oleh guru dan murid dalam pembelajaran. Ini merupakan sebagai
contoh bahwa K.H. Hasyim Asy’ari sebagai seorang pendidik sejati. Pemikiran
yang ditawarkan oleh beliau bersumber dari pengalaman sebagai seorang pendidik
dan ilmu tasawuf.
4.
Metode Pembelajaran
Sistem
belajar dan metode belajar yang diterapkan dalam Pesantren Tebuireng pada awal
perkembangannya, mengakomodasi sistem pendidikan Islam klasik (sebelum Madrasah
Nizhamiyah di Baghdad) yakni sistem individual atau halaqah, sistem
individual yang diterapkan melalui metode wetonan dan sorogan,
dan metode hafalan merupakan istilah-istilah lain dari metode yang
diterapkan pada Islam klasik. Subyek yang amat menentukan dalam aplikasi
pendidikan yang diterapkan adalah tenaga pengajar. Adapun metode-metode yang
digunakan di pesantren yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari adalah sebagai
berikut :
a.
Metode Wetonan atau Bandongan
Metode
wetonan atau bandongan merupakan metode utama pengajaran di
lingkungan pesantren. Dalam sistem ini sekelompok santri membentuk halaqah. Di
sana guru membaca, menerjemahkan dan menerangkan, dan sekaligus mengulas kitab
kuning yang dipelajari. Para santri mendengarkan bacaan dan uraian guru sambil
memperhatikan kitabnya sendiri dan membuat catatan penting. Biasanya catatan
itu meliputi arti kata-kata yang sulit dan keterangan tentang hal-hal yang
dianggap pelik (Niswah: 2010, 214-215).
Bentuk
penerapan dari metode ini, K.H. Hasyim Asy’ari membaca kitab kepada anak
didiknya seperti kitab Fath al-Qorib, kiai membaca, menerjemahkan, dan
menerangkan baik dari segi isi maupun tata bahasa (nahwu shorof). Sedangkan
santri hanya mendengarkan dan membuat catatan yang penting (kata-kata sulit
atau keterangan yang dianggap penting. Biasanya metode ini diikuti 50 santri
hingga 500 santri. Metode ini sangat efektif, bila seorang santri telah
melewati sistem sorogan (individual).
b.
Metode Sorogan
Metode
sorogan merupakan cara belajar individual yang biasanya digunakan dalam
belajar kitab berbahasa Arab. Pada pengajian dengan sistem ini guru membacakan
beberapa baris dari kitab yang dipelajari kemudian menerjemahkannya ke dalam
bahasa Jawa (Melayu dan lainnya). Pada gilirannya si santri mengulangi bacaan
tersebut dan menerjemahkannya kata demi kata seperti yang dilakukan oleh
gurunya. Melalui cara ini, diharapkan murid sekaligus dapat mengetahui arti dan
fungsi setiap kata dalam kalimat Bahasa Arab yang dibacanya. Pelajaran tambahan
hanya akan diberikan bila si santri telah menguasai dengan baik bahan pelajaran
terdahulu. Biasanya seorang guru yang mengajar dengan sistem ini hanya
membimbing murid, tiga atau empat orang saja (Niswah: 2010, 214). Sistem sorogan ini
menuntut kesabaran, ketaatan, dan disiplin pribadi dari murid. Sistem ini
terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang
bercita-cita menjadi seorang alim.
Bentuk
penerapan metode ini, kiai membaca, mengartikan satu-persatu kalimat bahasa
Arab, kemudian menerjemahkannya. Selanjutnya kiai memerintahkan kepada salah
satu santri untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan sang kiai.
Dari metode ini, ada tiga hal yang dilakukan oleh santri yaitu (1) membaca
kalimat bahasa Arab; (2) mengartikan satu persatu kalimat bahasa Arab; dan (3)
memahami makna dari kalimat yang dibacakan. Metode ini akan efektif, apabila
murid sabar, rajin, taat, dan disiplin sedangkan guru mengawasi, menilai dan
membimbing secara maksimal serta memperhatikan kemampuan setiap anak didik.
c.
Metode Hafalan
Hafalan,
metode yang diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya dipakai untuk
menghafalkan kitab-kitab tertentu, semisal Alfiyah Ibnu Malik atau juga sering
juga dipakai untuk menghafalkan Al-Qur’an, baik surat-surat pendek maupun
secara keseluruhan. Metode ini cukup relevan untuk diberikan kepada murid-murid
usia anak-anak, tingkat dasar, dan tingkat menengah. Pada usia diatas itu,
metode hafalan sebaiknya dikurangi sedikit demi sedikit, dan lebih tepat
digunakan untuk rumus-rumus dan kaidah-kaidah (Amien: 2004, 17).
Dalam
metode hafalan para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan tertentu
dalam jangka waktu tertentu. Hafalan yang dimiliki santri ini kemudian di
“setorkan” dihadapan kiai atau ustadznya secara priodik atau insidental
tergantung kepada petunjuk sebelumnya. Dengan demikian, titik tekan pada
pembelajaran ini adalah santri mampu mengucapkan atau melafalkan sekumpulan materi
pembelajaran secara lancar dengan tanpa melihat atau membaca teks.
d.
Metode Hiwar atau Musyawarah
Metode
hiwar atau musyawarah hampir sama dengan metode diskusi yang umum
kita kenal selama ini. Bedanya metode hiwar ini dilaksanakan dalam rangka
pendalaman atau pengayaan materi yang sudah ada di santri. Yang menjadi ciri
khas dari hiwar ini, santri dan guru biasanya terlibat dalam sebuah forum
perdebatan untuk memecahkan masalah yang ada dalam kitab-kitab yang sedang di
santri (Amien: 2004, 18).
Metode
ini hanya digunakan oleh Hadratus Syekh bagi santri-santri senior dalam kelas
musyawarah yang dibuatnya. Dalam kelas musyawarah, kiai menyeleksi dengan ketat
bagi santri yang ingin memasuki kelas tersebut. Diharapkan dengan metode ini,
dapat menciptakan ulama-ulama yang handal dari segi keilmuan.
5.
Materi Pendidikan
Materi
pendidikan Islam yang diajarkan di Pesantren Tebuireng yang ia pimpin adalah
Bahasa Arab, Membaca Al-Qur,an, Nahwu dan Shorof, Tafsir Jalalain,
Tafsir Ibnu Katsir, fiqh (Kitab Fathul Qorib), Hadits (Kitab
Shohih Bukhori dan Shohih Muslim), ilmu tasawuf (Kitab Ihya Ulumuddin),
muroja’ah Al-Qur’an, sejarah rasulullah (Kitab al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi
‘Iyadh), fiqh mazhab Imam Syafi’i (Kitab al-Muhaddzab, Ilmu Hadits (Kitab Al-Muwattha’).
Sedangkan materi pendidikan umum yang
diajarkan di Madrasah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng yaitu Bahasa Indonesia (Melayu),
Matematika, Geografi, Bahasa Belanda dan Sejarah (Zuhairini, 2004, 203).
Pesantren Tebuireng tidak hanya
menyelenggarakan pendidikan agama saja tetapi menyelenggarakan pendidikan umum
juga. Pelajaran umum ini digunakan untuk kepentingan santri ketika keluar dari
pesantren. Pelajaran ini sangat bermanfaat setelah sepuluh tahun diterapkan,
karena pada saat itu Jepang mewajibkan menulis surat menggunakan bahasa
Indonesia. Secara tidak langsung hanya keluaran dari Tebuireng saja yang dapat
melakukan hal tersebut. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh santri untuk
mendapatkan kemerdekaan dari para penjajah.
Penutup
Pendidikan pesantren
tradisional yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari merupakan pesantren yang
mengalami pengembangan ke arah peningkatan kualitas yang mampu beradaptasi
dengan semua lapisan masyarakat. Pengembangan tersebut terlihat dari usaha kiai
mendirikan madrasah di pesantrennya yaitu Madrasah Salafiyah Syafi’iyah dan
juga menambah kurikulum pendidikan umum di pesantrennya yaitu bahasa Indonesia,
Geografi, Matematika, dan Sejarah. Kebijakan ini pada awalnya mendapat
pertentangan dari kalangan ulama-ulama tradisional di Jawa, namun dengan
kharisma beliau, pertentangan tersebut merendah.
Kebijakan
tersebut dilakukan tidak lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebijakan
tersebut mendapatkan hasil setelah 10 tahun berlalu yaitu pada zaman Jepang.
Pemikiran
pendidikan pesantren tradisional K.H. Hasyim Asy’ari mencakup manajemen
pendidikan, tujuan pendidikan, signifikansi pendidikan, metode pendidikan, dan
materi pendidikan.
K.H. Hasyim
Asy’ari menggunakan sistem mono-manajemen dalam mengelola pesantrennya dengan
gaya kepemimpinan paternalistik dan demokratis. Paternalistik merupakan gaya
kepemimpinan yang menonjolkan kebapakan/kharisma. Sedangkan demokratis
merupakan gaya kepemimpinan yang menyatakan bahwa untuk menuju kemajuan tidak
dapat dilakukan dengan sendiri melainkan butuh akan bantuan orang lain.
Tujuan
pendidikan adalah untuk mendapatkan ridho Allah Swt. mengilangkan kebodohan,
dan mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam untuk mendapatkan
kebahagian di dunia dan akhirat.
Signifikansi
pendidikan merupakan kedudukan ilmu pengetahuan. Betapa pentingnya ilmu
pengetahuan bagi umat manusia sehingga Nabi Muhammad mewajibkan untuk menuntut
ilmu dan Allah Swt. menganjarkan pahala dan derajat tinggi bagi orang yang
berilmu. Hal yang terpenting dalam ilmu pengetahuan adalah niat karena Allah
Swt. dan mengamalkannya. Dalam menuntut ilmu pengetahuan, ada beberapa yang harus
diperhatikan oleh guru dan anak didik, yaitu akhlak ketika belajar, akhlak
kepada guru, dan akhlak kepada pelajaran. Begitu juga guru harus profesional,
berwibawa, dan lain sebagainya.
Metode
pendidikan yang biasa digunakan di pesantren tradisional K.H. Hasyim Asy’ari
ialah metode sorogan, bandongan/wetonan, hafalan, musyawarah. Metode
ini tetap bertahan seiring dengan berkembangnya metode pendidikan yang lebih
mengaktifkan siswa.
Meteri
pendidikan yang ditawarkan K.H. Hasyim Asy’ari terbagi menjadi dua, yaitu
materi pendidikan Islam (Tasawuf, Hadits, Tafsir, Qur’an, Akhlak, Tauhid, dan
sejenisnya) dan materi pendidikan umum (Sejarah, Bahasa Indonesia, Matematika,
dan Geografi). Materi pendidikan umum dimasukkan ketika beliau mendirikan
Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Hal ini diperlukan untuk menjawab tantangan
zaman yaitu ulama pintar ilmu agama dan ilmu umum.
Apa yang
ditawarkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalam hal pendidikan pesantren tradisional
untuk menjawab tantangan zaman yang selalu berkembang ke arah modern. Dan juga
menafikan anggapan sebagian masyarakat bahwa pesantren sebagai tempat
pendidikan “kolot” dan kaku. Serta menafikan anggapan sebagian masyarakat bahwa
pesantren sama halnya dengan “kerajaan kecil”. Wallahu A’lam Bi Asshowab …
PEMBAHASAN
A. Komponen
Evaluasi
1.
Pengertiaan Evaluasi dan
Kurikulum
Pemahaman mengenai
pengertian evaluasi kurikulum dapat berbeda-beda sesuai dengan pengertian
kurikulum yang bervariasi menurut para pakar kurikulum. Oleh karena itu penulis
mencoba menjabarkan definisi dari evaluasi dan definisi dari kurikulum secara
per kata sehingga lebih mudah untuk memahami evaluasi kurikulum. Pengertian
evaluasi menurut Joint Committee, 1981 ialah penelitian yang
sistematik atau yang teratur tentang manfaat atau guna beberapa obyek. Purwanto
dan Atwi Suparman, 1999 mendefinisikan evaluasi adalah proses
penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk
membuat keputusan tentang suatu program. Rutman and Mowbray, 1983
mendefinisikan evaluasi adalah penggunaan metode ilmiah untuk menilai
implementasi dan outcomes suatu program yang berguna untuk proses
membuat keputusan. .Sedangkan pengertian kurikulum adalah :
1.
Kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu (Pasal 1 Butir 19 UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional);
2.
Seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai isi dan bahan pembelajaran serta metode yang digunakan sebagai pedoman
menyelenggarakan kegiatan pembelajaran (Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor: 725/Menkes/SK/V/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan di bidang
Kesehatan.).
3.
Menurut Grayson (1978), kurikulum
adalah suatu perencanaan untuk mendapatkan keluaran (out- comes) yang
diharapkan dari suatu pembelajaran. Perencanaan tersebut disusun secara
terstruktur untuk suatu bidang studi, sehingga memberikan pedoman dan instruksi
untuk mengembangkan strategi pembelajaran (Materi di dalam kurikulum harus
diorganisasikan dengan baik agar sasaran (goals) dan tujuan (objectives)
pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai;e. Sedangkan menurut Harsono
(2005), kurikulum merupakan gagasan pendidikan yang diekpresikan dalam praktik.
Dalam bahasa latin, kurikulum berarti track atau jalur pacu. Saat ini
definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang dimaksud kurikulum tidak
hanya gagasan pendidikan tetapi juga termasuk seluruh program pembelajaran yang
terencana dari suatu institusi pendidikan.
Dari
pengertian evaluasi dan kurikulum di atas maka dapat menyimpulkan bahwa
pengertian evaluasi kurikulum adalah penelitian yang sistematik tentang
manfaat, kesesuaian efektifitas dan efisiensi dari kurikulum yang diterapkan.
Atau evaluasi kurikulum adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk
mengumpulkan data yang valid dan reliable untuk membuat keputusan tentang
kurikulum yang sedang berjalan atau telah dijalankan.
Evaluasi
kurikulum ini dapat mencakup keseluruhan kurikulum atau masing-masing komponen
kurikulum seperti tujuan, isi, atau metode pembelajaran yang ada dalam
kurikulum tersebut.Secara sederhana evaluasi kurikulum dapat disamakan dengan
penelitian karena evaluasi kurikulum menggunakan penelitian yang sistematik,
menerapkan prosedur ilmiah dan metode penelitian. Perbedaan antara evaluasi dan
penelitian terletak pada tujuannya. Evaluasi bertujuan untuk menggumpulkan,
menganalisis dan menyajikan data untuk bahan penentuan keputusan mengenai
kurikulum apakah akan direvisi atau diganti. Sedangkan penelitian memiliki
tujuan yang lebih luas dari evaluasi yaitu menggumpulkan, menganalisis dan
menyajikan data untuk menguji teori atau membuat teori baru.
Kurikulum sebagai sebuah sistem
terdiri atas beberapa komponen diantaranya adalah komponen evaluasi. Dalam
dunia praktisi pendidikan kita, termasuk Gurunya lemah memahami urgensitas sebuah
kerja evaluatif. Sehingga proses pembelajaran sering tidak berakhir dengan baik
justru disebabakn kurang akuratnya system penilaian yang digunakan. Contoh,
masih banyaknya Guru kita yang ketika akan mengetahui tingkat pencapaian
pembelajaran siswa, justru hanya menggunakan variable pemahaman (evaluasi
kognitif) dengan mengabaikan penilaian keterampilan (evaluasi psikomotorik) dan
sikap moralitas (evaluasi afektif) siswa.
2.
Tujuan Evaluasi Kurikulum
Diadakan evaluasi di dalam proes
pengembangan kurikulum dimaksudkan untuk keperluan :
a)
Perbaikan program.
Dalam konteks tujuan ini, peranan
evaluasi lebih bersifat konstruktif, karena informasi hasil evaluasi dijadikan
input bagi perbaikan yang diperlukan di dalam program kurikulum yang sedang
dikembangkan.
b)
Pertanggungjawaban kepada berbagai
pihak
Selama dan terutama pada akhir fase
pengembangan kurikulum, perlu adanya semacam pertanggungjawaban dari pihak
pengembang kurikulum kepada berbagai pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak yang
dimaksud mencakup baik pihak yang mensponsori kegiatan pengembangan kurikulum
tersebut maupun pihak yang akan menjadi konsumen dari kulikulum yang telah
dikembangkan. Dengan kata lain, pihak-pihak-pihak tersebut mencakup pemerintah,
masyarakat, orang tua, petugas-petugas pendidikan, dan pihak lainnya yang ikut
mensponsori kegiatan pengembangan kurikulum yang bersangkutan. Dalam
mempertanggung jawabkan hasil yang telah dicapainya, pihak pengembang kurikulum
perlu mengemukakan kekuatan dan kelemahan dari kurikulum yang sedang
dikembangkan serta usaha lebih lanjut yang diperlukan untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan,, jika ada, yang masih terdapat.
c)
Penentuan tindak lanjut hasil
pengembangan
Tindak lanjut hasil pengembangan
kurikulum dapat berbentuk jawaban atas dua kemungkinan pertanyaan : Pertama, apakah kurikulum baru tersebut akan atau
tidak akan disebar luaskan ke system yang ada ? Kedua, dalam kondisi
yang bagaimana dan dengan cara yang bagaimana pula kurikulum baru tersebut akan
disebar luaskan ke dalam system yang ada ? ditinjau dari proses pengembangan
kurikulum yang sudah berjalan, pertanyaan pertama di pandang tidak tepat
untuk diajukan pada akhir pengembangan. Pertanyaan itu hanya akan menghasilkan
dua jawaban yaitu ya atau tidak. Secara teoritis dapat saja terjadi jawaban
yang diberikan itu adalah tidak. Bila hal ini terjadi, kita akan
dihadapkan pada situasi yang tidak menguntungkan – biaya, tenaga dan waktu yang
telah dikerahkan selama ini ternyata
terbuang dengan percuma atau sia-sia.: peserta didik yang telah menggunakan
kurikulum baru tersebut selama fase pengembangan yang terlanjur dirugikan :
sekolah-sekolah di mana proses pengembangan itu berlangsung harus kembali
menyesuaikan diri lagi kepada cara lama :dan lambat laun akan timbul sikap skeptic
di kalangan orang tua dan masyarakat terhadap pemmbaharuan pendidikan daalam
bentuk apapun. Pertanyaan kedua, dipandang lebih tepat untuk diajukan
pada akhir fase pengembangan kurikulum. Pertanyaan tersebut mengimplikasikan
sekurang-kurangnya tiga anak pertanyaan – aspek-aspek mana kurikulum tersebut
yang masih perlu diperbaiki atau disesuaikan, strategi penyebaran yang
bagaimana yang sebaiknya ditempuh, dan persyaratan-persyaratan apa yang diperlu
diersiapkan terlebih dahulu di dalam system yang ada. Pertanyaan ini lebih
bersifat konstruktif dan dapat diterima dari segi social, ekonomi, moral maupun
teknis.
Untuk menghasilkan informasi yang
diperlukan dalam menjawab pertanyaan yang kedua maka diperlukan kegiatan
evaluasi.
3.
Konsep/Model Evaluasi Kurikulum
Setelah mencermati tentang tujuan
evaluasi kurikulum, kita harus memahami konsep atau ,model evaluasi, secara
garis besar, model evaluasi dapat digolongkan ke dalam empat rumpun model yaitu
measurement, congruence, illumination dan educational system
evaluation.[1]
a)
Measurement
Evaluasi
pada dasarnya adalah pengukuran perilaku siswa untuk mengungkapkan perbedaan
individual maupun kelompok. Hasil evaluasi digunakan terutama untuk keperluan
seleksi siswa, bimbingan pendidikan dan perbandingan efektifitas antara dua
atau lebih program pendidikan.
b)
Congruence
Evaluasi
pada dasarnya merupakan pemeriksaan kesesuaian atau congruence antara
tujuan pendidikan dan hasil belajar yang dicapai, untuk melihat sejauh mana
perubahan hasil pendidikan telah terjadi. Hasil evaluasi diperlukan dalam
rangka penyempurnaan bimbingan pendidikan dan pemberian informasi kepada
pihak-pihak di luar pendidikan.
c)
Illumination
Evaluasi
pada dasarnya merupakan studi mengenai pelaksanaan program, pengaruh factor
lingkungan, kebaikan-kebaikan dan kelemahan program serta pengaruh program
terhadap perkembangan hasil belajar. Evaluasi ini lebih didasarkan pada prinsip
pertimbangan yang hasilnya diperlukan untuk penyempuranaan program.
d)
Educational System Evaluation
Evaluasi
pada dasarnya adalah perbandingan antara performance setiap dimensi
program dan criteria, yang akan berakhir dengan suatu deskripsi dan judgment.
Hasil evaluasi diperlukan untuk penyempurnaan program dan penyimpulan hasil
program secara keseluruhan.
4.
Tinjauan Masing-masing Model
Setelah mencermati keempat model
evaluasi tersebut, Kita harus mencermati secara rinci tinjauan dari
masing-masing model/konsep.
a)
Measurenment
Konsep
ini telah memberikan sumbangan yang
sangat berarti dalam hal penekanan terhadap pentingnya obyektivitas dalam
proses evaluasi. Aspek obyektivitas yang diitekankan oleh konsep ini perlu dijadikan landasan yang terus-menerus di
dalam rangka mengembangkan konsep dan system evaluasi kurikulum. Konsep ini
sangat berpengaruh dan bermanfaat dalam berbagai kegiatan pendidikan, seperti
seleksi dan klasifikasi siswa, pemberian nilai di sekolah dan kegiatan
penelitian pendidikan.
b)
Congruence
Konsep
ini telah menghubungkan kegiatan evaluasi dengan tujuan untuk mengkaji
efektifitas kurikulum yang sedang dikembangkan. Dengan mengkaji efektifitas
tersebut akan memberikan balikan kepada pengembang kurikulum tentang
tujuan-tujuan yang mana sudah dan belum dicapai.
c)
Illumination
Konsep
ini menekankan pentingnya dilakukan evaluasi yang berkelanjutan selama proses pelaksanaan
kurikulum yang berlangsung
d)
Educational System Evaluation
Konsep
ini memperlihatkan banyak segi-segi positif untuk kepentingan proses
pengembangan kurikulum. Ditekankannya peranan criteria dalam proses evaluasi
sangat penting artinya dalam memberikan cirri-ciri khas kegiatan evaluasi.
Tanpa criteria tidak akan dapat menghasilkan suatu informasi yang menunjukkan ada tidaknya kesenjangan, inilah
yang diharapkan dari hasil evaluasi. Konsep ini mengemukan perlunya evaluasi
itu dilakukan terhadap berbagai dimensi program, tidak hanya hasil yang
dicapai, tapi juga input dan proses yang dilakukakan tahap demi tahap. Ini
penting agar penyempurnaan kurikulum dapat dilakukan pada setiap tahap sehingga
kelemahan yang masih terlihat pada tahap tertentu tidak sampai dibawa ke tahap berikutnya.
Dalam mengevaluasi kurikulum tentu
diperlukan kecermatan dalam memilih model yang mana yang dianggap tepat. Setiap
model mepunyai kelebihan dan kelemahan. Setelah membaca model dari evaluasi
kurikulum maka dapat disarankan bahwa konsep educational system evauationlah
yang paling tepat. Kelemahan pada model-model yang lain dapat ditanggulangi
oleh model ini.
B. Jenis
Evaluasi Kurikulum
Evaluasi terhadap kurikulum mencakup
evaluasi sumber daya yang dapat menunjang program pendidikan, seperti dana,
sarana dan fasilitas, tenaga dan penilaian terhadap siswa sebelum menempuh
program. Evaluasi proses mencakup penilaian terhadap strategi pelaksanaan
kurikulum yang berkenaan dengan proses belajar, mengajar, bimbingan dan penyuluhan,
administrasi supervise, sarana pengajaran dan penilaian hasil belajar.
Menurut Sukmadinata (2000:111)
ada bebarapa bentuk atau jenis evaluasi. Pertama, evaluasi hasil
belajar. Evaluasi digunakan untuk menilai keberhasilan penguasaan siswa
terhadap proses pembelajaran selalu diadakan evaluasi. Dalam evaluasi ini ini
disusun butir-butir soal untuk megukur pencapaian tiap tujuan khusus yang telah
ditetapkan. Berdasarkan luas lingkup bahan dan jangka waktu belajar, evaluasi
ini dibedakan menjadi evaluasi formatif dan evaluasi summatif.
1.
Evaluasi formatif ditujukan untuk
menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan belajar dalam jangka waktu yang
relative pendek. Tujuan utama evaluasi ini untuk menilai proses pengajaran.
Untuk pendidikan tingkat dasar, test formatif digunakan untuk menilai kemampuan
siswa setelah memahami sub pokok bahasan tertentu.
2.
Evaluasi sumatif ditujukan untuk
menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang lebih luas sebagai hasil
belajar dalam limit waktu yang cukup lama, satu semester atau satu tahun. Evaluasi
ini berfungsi untuk tingkat pendidikan dasar. Misalnnya untuk menilai kemajuan
belajar siswa seperti kenaikan kelas, kelulusan ujian dan seterusnya.[2]
Untuk mengukur tingkat penguasaan
siswa terhadap tujuan-tujuan belajar yang telah ditetapkan. Ada dua macam norma
yang harus diperhatikan, yaitu norm referenced dan criterion
referenced (Chauhan, 1979 : 170-177). Dalam evaluasi formatif menggunakan criterion
referenced yaitu penguasaan siswa
yang diukur dengan test belajar lalu dibandingkan dengan suatu criteria standard sebagai patokan.
Sedangkan evaluasi sumatif menggunakan norm referenced yaitu penguasaan
siswa yang tidak memiliki criteria standard sebagai patokan penguasaan siswa
terhadap tujuan-tujuan belajar.
Kedua, evaluasi pelaksanaan
mengajar. Komponen yang dievaluasi dalam proses pembelajaran adalah keseluruhan
dari proses tersebut secara utuh yang meliputi tujuan mengajar, evaluasi bahan
ajar, strategi, metodologi pembelajaran dan media yang digunakan. Komponen ini
mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, isi, metode, organisasi,
fasilitas dan biaya, siswa, guru, keluarga dan masyarakat.
Dalam referensi yang lain,
jenis-jenis evaluasi kurikulum dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
- Evaluasi Awal : Di Lakukan Sebelum Pengajaran Diberikan,Fungsinya Ialah Untuk Mengetahui Kemampua Awal Peserta Didik Tentang Pelajaran Yang Akan Diberikan.
- Evaluasi Antara : Dilakukan Pada Setiap Unit Bahan Yang Diberikan Dalam Suatu Mata Pelajaran,Dapat Berbentuk Tes Dan Bentuk-Bentuk Evaluasi Yang Lain Tentang Unit Yang Bersangkutan.
- Evaluasi Akhir : Dilaukan Setelah Pengajaran Diberikan.Fungsinya Ialah Untuk Memperoleh Gambaran Tentang Kemampuan Yang Dicapai Pesrta Didik Pada Akhir Program.[3]
C.
Faktor-faktor Evaluasi Kurikulum
1.
Factor-faktor yang
menyebabkan sulitnya merumuskan evaluasi kurikulum secara tegas
Evaluasi
Kurikulum Sukar Di Rumuskan Secara Tegas Hal Itu Disebabkan Beberapa Faktor :
a. Evaluasi Kurikulum Berkenaan Dengan Fenomena-Fenomena Yang Terus
Berubah
b. Objek Evaluasi Kurikulum Adalah Sesuatu Yang Berubah-Ubah Sesuai
Dengan Konsep Yang Digunakan.
c. Evaluasi Kurikulum Merupakan Suatu Usaha Yang Dilakukan Oleh
Manusia Yang Sifatnya Juga Berubah[4]
Untuk melakukan evaluasi kurikulum banyak mengalami kendala atau masalah
ketika ingin melakukan
evaluasi terhadap kurikulum yang sedang dikembangkan. Adapun yang menyulitkan itu adalah
dikarenakan fenomena-fenomena dalam kurikulum itu mengalami perubahan terus-menerus, objek yang akan dievaluasi
yaitu kurikulum berubah dengan sendirinya dikarenakan harus sesuai dengan konsep yang digunakan dalam kurikulum tersebut dan evaluasi kurikulum yang dilakukakan oleh
manusia sifatnya juga berubah.
R.A Becher, Seorang Ahli
Pendidikan dari Universitas Sussex Inggris menyatakan tiap program pengembangan
kurikulum mempunyai style dan karakteristik tertentu, dan evaluasi Dari program
tersebut akan memperhatikan style dan karakteristik yang sama pula , seorang
Evaluator akan menyusun program evaluasi kurikulum sesuai dengan style dan karakteristik yang dikembangkannya.
2.
Factor-faktor yang
menyebabkan tercapainya tujuan evaluasi kurikulum
Untuk
tercapainya tujuan evaluasi kurikulum, maka ada lima factor yang menyebabkan
itu, yaitu :
a. Evaluasi Kontek : Evaluasi ini diadakan untuk menghasilkan informasi
yang diperlukan dalam perencanaan program, khususnya dalam penetuan tujuan dan
program kurikulum diklat
b. Evaluasi Masukan : Evaluasi ini diadakan untuk menghasilkan informasi
yang diperlukan dalam penyiapan dan perbaikan peralatan pendidikan yang meliputi
bahan ajar, sarana / alat penunjang media pengajaran stap pengajar dan sebagainya.
c. Evaluasi Proses / Hasil Jangka Pendek : Informasi untuk
keperluan perbaikan program dan pelaksanaan pendidikan mencakup baik informasi
tentang proses maupun hasil jangka pendek yang dicapai peserta didik selama dan
pada akhir tiap unit program. Kadang-kadang disebut juga dengan istilah
evaluasi implementasi kurikulum. Di sini dipergunakan istilah proses untuk
memperkuat pengertian kurikulum sebagai sesuatu yang terjadi di sekolah.
Lagipula, istilah evaluasi proses dianggap lebih memberikan kedudukan yang sama
antara dimensi kurikulum sebagai ide, rencana, hasil, dan kurikulum sebagai
kegiatan.
d. Evaluasi Dampak / Hasil Jangka Panjang : Evaluasi ini diadakan
untuk menghasilkan informasi yang diperlukan bagi peninjauan kembali
keseluruhan program pendidikan dan penentu kegiatan tindak lanjut yang diperlukan
termasuk perbaikan kurikulum pada siklus / putaran hidup.
e. Evaluasi Reflektif : Evaluasi yang diperagunakan untuk
menyebutkan jenis evaluasi yang memusatkan perhatiannya terutama terhadap
kurikulum sebagai ide . nama reflektif itu sendiri diambil dari artikel yang
ditulis oleh cohen (1976). Jenis evaluasi ini mencoba mengkaji mengenai ide
yang dikembangkan dan dijadikan landasan bagi kurikulum dalam dimensi lainnya.[5]
Tercapainya
tujuan evaluasi kurikulum itu disebabkan oleh adanya hasil informasi yang
diperlukan dalam perencanaan program, diketahuinya jenis dari evaluasi yang
digunakan, ditemukannya informasi untuk peninjauan kembali keseluruhan program
pendidikan dan tindak lanjut untuk memperbaiki kurikulum tersebut, diketahuinya
proses jangka pendek yang dicapai oleh peserta didik selama dan akhir dari unit
program.
KESIMPULAN
Ø
Evaluasi kurikulum adalah penelitian
yang sistematik tentang manfaat, kesesuaian efektifitas dan efisiensi dari
kurikulum yang diterapkan. Atau evaluasi kurikulum adalah proses penerapan
prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliable untuk membuat
keputusan tentang kurikulum yang sedang berjalan atau telah dijalankan.
Ø
Tujuan evaluasi kurikulum
adalah Pertama, perbaikan program. Kedua, pertanggungjawaban
kepada berbagai pihak. Ketiga, Penentuan tindak lanjut hasil
pengembangan.
Ø
Model/konsep yang digunakan
dalam evaluasi kurikulum yaitu measurement, congruence, illumination dan
educational system evaluation.
Ø
Jenis-jenis evaluasi
kurikulum adalah evaluasi sumatif, evaluasi formatif, evaluasi awal, evaluasi
antara dan evaluasi akhir.
Ø
Factor-faktor yang
menyulitkan ketika melakukan evaluasi kurikulum disebabkan oleh
fenomena-fenomena yang terjadi dalam kurikulum terus berubah, objek evaluasi
kurikulum berubah sesuai dengan tuntutan dari konsep tersebut dan apa yang
dilakukan oleh manusia pasti mengalami perubahan.
Ø
Tercapainya tujuan evaluasi
kurikulum itu disebabkan oleh adanya hasil informasi yang diperlukan dalam
perencanaan program, diketahuinya jenis dari evaluasi yang digunakan,
ditemukannya informasi untuk peninjauan kembali keseluruhan program pendidikan
dan tindak lanjut untuk memperbaiki kurikulum tersebut, diketahuinya proses
jangka pendek yang dicapai oleh peserta didik selama dan akhir dari unit
program.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Abdurahmansyah. Teori Pengembangan Kurikulum dan Aplikasi.
Jakarta : Grafika Telindo Press. 2009
Ø Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam.
Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2005
Ø Ibrahim, R dan Masitoh. Evaluasi Kurikulum. Pdf
[1] R.
Ibrahim dan Masitoh. Evaluasi kurikulum. Pdf
[2]
Abdurahmansyah. Teori Pengembangan Kurikulum dan Aplikasi. Jakarta :
Grafika Telindo Press. 2009. Hlm.
[3] http://zhizhachu.wordpress.com/tag/jenis-jenis-evaluasi-kurikulum/
[4] http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2008/10/31/evaluasi-kurikulum/
[5] http://zhizhachu.wordpress.com/tag/jenis-jenis-evaluasi-kurikulum/